Senin, 26 September 2016

Tetapkan Standar Jelas Untuk Panti Asuhan




Anda mungkin sering menjumpai label-label tentang panti asuhan di mal atau di tempat sumbangan yang ada di berbagai sarana umum. Tentu Anda ingin mengetahui apa sebetulnya panti asuhan itu, kegiatan dan seluk-beluk di dalamnya. Kini hadir seorang narasumber yang kompeten untuk menjelaskannya, yaitu Endang Srihadi. Dia terlibat dalam penelitian tentang panti asuhan di Indonesia.
Endang Srihadi mengatakan kemiskinan tidak bisa menjadi alasan utama anak tinggal di panti.
Kalau keluarga inti sudah tidak bisa, semestinya masih ada keluarga besar, masih ada masyarakat. Tidak selalu anaknya dikorbankan untuk tinggal di panti. Anak itu sebenarnya korban dari sistem yang tidak berjalan.
Menurut Endang Srihadi, kedepannya yang harus kita gencarkan adalah pemerintah harus mengambil kebijakan membangun pengasuhan alternatif anak melalui penguatan berbasis keluarga, dan standarisasi. Selain itu, keberadaan panti juga perlu dievaluasi. Keberadaan mereka tetap penting dengan situasi Indonesia sekarang. Namun keberadaan panti harus juga dilihat secara rasional, mana yang masih bisa mamberikan pengasuhan yang baik dan benar untuk anak, mana yang hanya memanipulasi kepentingan anak untuk pencarian bantuan semata.

Berikut wawancara Jaleswari Pramodhawardani dengan Endang Srihadi.


Tolong Anda jelaskan hasil penelitian tentang panti asuhan di Indonesia. Apa saja yang menarik dari hasil penelitian Anda tersebut?

Mungkin perlu diperjelas dulu bahwa ini bukan penelitian saya. Saya terlibat dalam tim penelitian bersama mengenai kualitas pengasuhan anak di panti asuhan anak di Indonesia. Ini diselenggarakan oleh Departemen Sosial, Save the Children dan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bidang bantuan pendidikan anak (The United Nations Children's Fund – UNICEF).Penelitian ini dilakukan pada tahun 2006 silam, kemudian penyusunan laporan, lalu paparan ke daerah atau diseminasi yang baru saja selesai. Jadi praktis selama dua tahun kami memang menggeluti isu mengenai kualitas pengasuhan di panti asuhan. Sebelum penelitian ini dilakukan, praktis tidak ada data yang menggambarkan kondisi panti asuhan di Indonesia. Saya bisa menyatakan berdasarkan pengalaman bahwa di kampus sekalipun, misalnya di tempat saya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), tidak ada tentang panti asuhan dan tidak terpikir. Padahal setelah saya menggelutinya, ini merupakan isu yang sangat besar dan sudah sangat lama ada di Indonesia. Latar belakang penelitian ini merupakan tindak lanjut dari rekomendasi komite bidang hak-hak anak PBB karena Indonesia dianggap belum memberikan perlindungan terhadap kondisi kehidupan anak-anak di panti.

Dari mana mereka mengetahui hal itu?
Tidak ada data yang dikirimkan ke sana. Jadi belum ada data yang dikirimkan ke komite hak-hak anak PBB tentang kondisi kehidupan anak-anak di panti, dan ada keprihatinan dari komite hak-hak anak PBB bahwa begitu banyak jumlah panti dan anak yang ditampung di Indonesia.

Berapa sebenarnya kisaran jumlah panti di Indonesia?
Sekitar 5.000 – 8.000 di seluruh Indonesia dan itu mayoritas milik masyarakat.

Berapa jumlah yang dimiliki pemerintah?
Departemen Sosial (Depsos) sekarang hanya mempunyai tiga panti di seluruh Indonesia. Sedangkan pemerintah daerah (Pemda) hanya memiliki sekitar 35 panti. Jadi mayoritas milik swasta dan datanya sulit didapat. Selama ini belum ada standarisasi mengenai panti. Jadi ketika saya dulu mengikuti penelitian ini belum tergambar apa yang akan kita dapatkan. Ternyata banyak hal menarik yg membuat fakta-fakta yang selama ini muncul di masyarakat terbantahkan dengan data yang kita temukan.

Apa contohnya?
Penelitian kami memang bukan secara kuantitatif yang berbentuk survey karena kami mau mendapat paparan mendalam tentang kondisi kehidupan anak-anak di panti asuhan di Indonesia. Kami melakukan penelitian di enam provinsi yang mewakili karakteristik berbeda, yaitu Jawa Tengah, Maluku, Aceh, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Aceh mewakili daerah konflik dan bencana. Maluku juga daerah konflik dan faktor keagamaan berperan di sana. Sulawesi Utara jelas keunikannya, yaitu daerah kepulauan yang juga berbatasan dengan negara lain dalam hal ini Filipina yang berbatasan dengan ujung Utara Indonesia, dan mayoritas juga didominasi oleh pemeluk agama Kristen. Lalu NTB sangat kuat Islam, Jawa Tengah homogen, Kalimantan Barat wilayahnya sangat besar dan masih banyak penduduk asli, pedalaman. Itu karakteristik yang kami coba angkat.

Apakah ada perbedaan yang signifikan? Misalnya tadi dibicarakan masalah agama, apakah itu ada hubungannya dengan pengelolaan panti asuhan dan sebagainya?
Bisa terasa karena kalau agama biasanya dilandasi oleh nilai-nilai atau falsafah keagamaan sudah dari mulai pendiriannya. Misalnya yang saya temukan di Jawa Tengah, ada satu panti yang afiliasinya ke Nahdlatul Ulama (NU) maka muatan utama pelayanannya adalah kegiatan keagamaan yang kaum Nahdliyin seperti pengajian kitab kuning. Dari 36 panti yang kita teliti yaitu enam dari masing-masing provinsi, memang mayoritas panti di Indonesia muatan utamanya memberikan pelayanan pendidikan. Padahal, semestinya pengasuhan yang diutamakan karena mereka dalam kondisi atau usia yang harus mendapatkan pengasuhan maksimal dari keluarga. Ketika mereka tinggal di panti, mereka bisa dikatakan hanya mendapat kehidupan minimal, yaitu makan, minum, tempat tidur yang selama ini bisa dikatakan tidak didapatkan ketika di keluarga karena mayoritas dari keluarga miskin. Mereka juga dijanjikan bahwa akan diberi pendidikan hingga lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), tapi pengasuhan memang sangat terabaikan. Padahal usia mereka adalah usia-usia yang sangat membutuhkan bimbingan psikologis, kejiwaan, pendampinganpersonal. Hal-hal ini yang tidak kita temukan.

Apakah pendidikan yang dimaksud itu adalah disekolahkan lagi atau panti asuhan sendiri yang memberikan?
Masalah pendidikan mayoritas memberikan pendidikan di luar panti, kecuali untuk beberapa panti yang bergabung dengan pesantren.

Tadi Anda mengatakan bahwa ada semacam standar umum yang harus dimiliki oleh panti-panti seperti yang ada di luar negeri tetapi di Indonesia tidak ada. Apa yang Anda maksud dengan standar umum ini?
Kalau di luar negeri pada umumnya panti dibangun dengan suatu standar yang sudah sangat jelas. Mulai dari proses penerimaan sampai pengakhiran pelayanan atau terminasi, itu sudah sangat jelas. Saya belum pernah mengunjungi panti di luar negeri, tapi dari beberapa info yang saya dapat dari supervisor yang memimpin penelitian ini, yaitu konsultan dari Inggris, di sana untuk memutuskan anak tinggal di panti tidak sembarangan. Panti merupakan alternatif tempat terakhir dari yang terakhir bagi anak untuk diasuh, dan harus melalui keputusan pengadilan untuk yang permanen.
Jadi bukan hanya karena pertimbangan kondisi finansial saja. Panti di sana sifatnya temporer. Kalau di sini anak bisa tinggal di panti selama 5, 10, 12 tahun tanpa ada evaluasi. Pokoknya anak akan berakhir pelayanannya kalau dia lulus SLTA, tanpa melihat apakah keluarganya sudah bisa berfungsi sosial kembali atau tidak, apakah bapaknya sudah mempunyai pekerjaan lagi atau tidak. Terlepas dari itu, anak terus saja dibiarkan tinggal di panti.

Lalu bagaimana dengan pemikiran di masyarakat kita bahwa panti asuhan adalah tempat anak-anak yatim piatu dititipkan?
Salah. Kalau dari data yang kami temukan, dari 36 panti sebanyak 90% anak masih mempunyai orang tua, 50% dari anak yang kami jumpai mempunyai orang tua lengkap, hanya 4% yang yatim piatu.
Data ini memang bukan general. Namun coba saja datang ke panti di Jakarta, yang mereka namakan panti yatim piatu, saya yakin belum tentu semuanya yatim piatu. Tidak semua yatim piatu akan diserahkan ke panti karena mereka masih mempunyai keluarga besar, keluarga inti. Sebenarnya hal ini yang harus kita kedepankan. Ketika fungsi keluarga utamanya menurun, misalnya orang tua tidak memiliki perkerjaan tetap atau kemampuan ekonominya menurun sehingga kualitas pendidikan anak terabaikan, tidak serta merta anak harus dititipkan di panti. Yang harus diintervensi itu berarti upaya ekonomi orang tuanya seperti pemberian pekerjaan atau modal untuk bekerja. Selain itu juga harus dilihat bahwa kemampuan kehidupan keluarga ini untuk melakukan aktifitas pengasuhan. Alternatif intervensinya bukanlah menitipkan anak ke panti, namun seharusnya ada alternatif bantuan dari pihak keluarga besarnya atau lembaga bantuan atau masyarakat atau bahkan pemerintah. Jadi tidak langsung potong jalan dengan menitipkan anak di panti.

Dari hasil penelitian, apa kira-kira alasan sebagian besar orang tua menitipkan anak-anaknya ke panti asuhan, apakah finansial belaka?
Ya, yang utamanya finansial supaya proses pendidikan anaknya terjamin hingga minimal sampai SLTA, sepanjang anak itu mengikuti peraturan di panti.

Lalu apakah orang tua diminta membayar iuran atau sejenisnya saat menitipkan anak di panti?
Tidak, karena orang tuanya mayoritas miskin. Di panti seharusnya ada metode evaluasi untuk anak dan keluarga. Kalau dilihat secara akademik, ada istilah fungsi sosial. Pada saat anak itu masuk panti, mungkin fungsi sosial keluarganya sedang terganggu, tapi tidak serta merta anaknya saja yang diintervensi, keluarganya juga harus diintervensi. Ketika keluarganya sudah berfungsi sosial kembali, harus ada metode evaluasi untuk anak kembali ke keluarga, ada penguatan keluarga. Karena itu ke depannya, Depsos dan lembaga donor akan berkerja sama untuk kembali mengukuhkan bahwa pengasuhan terbaik anak ada di keluarga. Jadi dilakukan upaya penguatan fungsi keluarga, tidak serta merta semuanya dibebankan ke tempat-tempat pengasuhan alternatif. Alternatif karena sifatnya memang temporer. Yang kami temukan rata-rata 5 - 6 tahun tinggal di panti dan yang mereka tahu adalah tinggal di sana sampai lulus SLTA.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan mengenai standar panti asuhan, adakah panti yang memiliki standar kelayakan hidup di atas rata-rata panti asuhan yang ada, dan seperti apa jenisnya?
Kalau standar panti secara nasional belum ada. Depsos memang mempunyai aturan tapi sangat global dan itu sifatnya hanya untuk aspek manajerial dan administrasi. Sedangkan untuk pengasuhan anak praktis tidak ada standar. Misalnya, tidak ada proses pendampingan untuk anak.

Jadi kalau anak sakit, mereka mengetahuinya hanya membawa anak ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), seperti itu. Sedangkan bagaimana menghadapi anak puber, tidak ada panduan dan standarnya. Begitu juga dengan pendampingan kebutuhan anak untuk kesehatan reproduksi. Itu hal-hal yang di luar bayangan kita.

Apakah pengasuhan tadi lebih penting daripada pendidikan?
Iya, misalnya di Jawa Tengah ada panti khusus anak perempuan yang memiliki 40 anak asuh. Setiap anak memiliki kebutuhan yang unik dan berbeda, sedangkan pengasuhnya hanya 2 - 3 orang. Akhirnya anak itu mencari tahu hanya dari teman karena untuk berbicara ke pengasuh juga sangat sulit. Pengasuh juga tidak memiliki kapasitas yang maksimal untuk isu-isu seperti itu. Karena itu hasil penelitian ini digunakan sebagai dasar kajian lebih mendalam untuk membangun kebijakan standarisasi panti tingkat nasional. Ke depannya kita harapkan ada evaluasi terhadap keberadaan panti di Indonesia, mana panti-panti yang memang memberikan pelayanan yang benar terhadap anak dan mana yang tidak.

Apa saja temuan yang menarik dari enam provinsi itu tempat penelitian panti asuhan?
Ada panti yang sangat baik seperti yang ditemukan di Tomohon, Sulawesi Utara. Panti tersebut menampung anak cacat, yaitu cacat sejak lahir, cacat ganda dan cacat kejiwaan. Pantinya bagus, manajemennya bagus. Satu anak didampingi oleh satu pengasuh. Dananya kuat karena didampingi oleh donor asing dari Belanda, Yayasan Katolik yang mempunyai induk di Belanda. Panti itu memiliki usaha ekonomi yang juga sudah mulai jalan. Itu bagus dan bisa menjadi contoh bahwa panti seperti itu yang kita inginkan. Kebutuhan anak cacat lebih besar dari anak normal karena harus diterapi seminggu sekali, perlu dokter khusus, makanannya juga beda, kamar mandinya juga beda. Semua itu ada dan dibangun di panti tersebut. Jadi panti ini dapat dijadikan panti percontohan untuk pelayanan anak-anak cacat.

Apakah sejauh ini pemerintah telah melakukan pembinaan atau memberikan bantuan-bantuan kepada panti-panti yang telah Anda teliti ini? Bagaimana peran pemerintah di sini?
Pemerintah sendiri sebenarnya mengalami kesulitan untuk menjangkau panti-panti ini karena jumlahnya yang banyak dan menyebar.

Apakah ada pendataan yang akurat saat Anda memulai penelitian ini?
Data awal yang kami gunakan adalah data panti-panti yang mendapatkan bantuan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) Bahan Bakar Minyak (BBM). Kriteria panti penerima PKPS BBM tersebut adalah panti-panti yang terdaftar di dinas sosial kabupaten/kota. Tapi datanya juga hanya data global yang bisa juga dimanipulasi. Misalnya, kita menemukan banyak sekali pesantren yang campur dengan panti asuhan. Ketika diverifikasi ternyata anak pantinya sudah tidak ada dan pantinya sudah tidak berjalan, jadi hanya pesantren. Namun mereka mengajukan PKPS BBM untuk panti asuhan. Bantuan nasional seperti itu yang diberikan oleh pemerintah melalui Depsos. Kalau bantuan rutin dari Depsos sendiri, saya pikir minimal sekali karena Depsos juga hanya mempunyai tiga panti. Apalagi sekarang sejak desentralisasi, upaya pengembangan kesejahteraan sosial juga jadi muatan otonomi daerah. Jadi tanggung jawab Pemda dan itu bukan hanya untuk panti asuhan anak saja, tapi juga untuk panti lanjut usia (Lansia), gelandangan dan pengemis. Dananya minimal sekali yang tersedia di setiap Pemda.

Di dalam undang-undang (UU) menyatakan anak-anak termasuk urusan negara?
Itu jelas. Karena itu PBB jelas-jelas memberikan catatan keras kepada Indonesia melalui komite hak-hak anak yaitu terkait data memprihatinkan tentang betapa besar jumlah anak di panti asuhan dan minim sekali perlindungan untuk mereka karena belum ada standarisasi, belum ada penjangkauan, belum ada evaluasi, assessment terhadap penempatan mereka di panti. Ini teguran dari PBB. Karena itu data ini akan dikirimkan ke PBB.

Apakah data ini juga akan disampaikan ke pemerintah?
Penelitian ini memang didorong oleh Depsos. Depsos juga membutuhkan data komprehensif tentang gambaran kehidupan anak di panti. Selama ini tidak ada. Ini data yang mencengangkan buat mereka, tapi kita juga tidak bisa serta merta menyalahkan panti bahwa anak hidup seperti ini di panti. Kita harus fair melihat bahwa pemerintah atau negara memang sangat minim memberikan bantuan.

Apakah ini karena ketidaktahuan pemerintah ataukah karena panti-panti asuhan ini memang tidak terdaftar di Dinas Sosial atau ada persoalan lain?
Kalau masalah legalitas, mayoritas terdaftar di Dinas Sosial kabupaten/kota tapi sebatas terdaftar. Mereka tidak mendapat pendampingan, penyuluhan, pembinaan. Yang ada pembinaan umum untuk panti sosial, tidak ada pembinaan khusus mengenai bagaimana caranya memberikan pengasuhan kepada anak yang tinggal di panti. Adapun pengembangan khusus untuk staf yang mendampingi anak, kita hanya menemukan 5 - 10% panti.

Jadi dinas sosial maupun pemerintah daerah atau pusat kurang memberikan bantuan seperti anggaran atau pembinaan?
Kalau anggaran, mereka biasanya memberi bantuan per makanan. Misalnya, satu anak Rp 3.000 per hari karena kebutuhan makan anak di panti rata-rata Rp 5.000 per hari. Walaupun ada panti yang bisa memberikan sampai Rp 10.000 atau 15.000, itu untuk yang dukungan dananya memang kuat. Tapi kalau kita hitung rata sekitar Rp 5.000.

Apa rekomendasi dari penelitian tersebut?
Pertama, kemiskinan tidak bisa menjadi alasan utama anak tinggal di panti. Ke depannya yang harus kita gencarkan adalah pemerintah harus mengambil kebijakan, membangun pengasuhan alternatif anak melalui penguatan berbasis keluarga. Kalau keluarga inti sudah tidak bisa, semestinya masih ada keluarga besar, masih ada masyarakat. Tidak selalu anaknya dikorbankan untuk tinggal di panti. Anak itu sebenarnya korban dari sistem yang tidak berjalan. Kenapa anak yang harus tinggal di panti? Mengapa tidak orang tua atau keluarganya saja yang diberdayakan, atau diperkuat fungsi sosialnya? Selain itu, keberadaan panti juga perlu dievaluasi. Keberadaan mereka tetap penting dengan situasi Indonesia sekarang. Kita harus sadar dan realistis melihat bahwa pemerintah juga belum bisa menjangkau semua kebutuhan anak. Namun keberadaan panti harus juga dilihat secara rasional, mana yang masih bisa mamberikan pengasuhan yang baik dan benar untuk anak, mana yang hanya memanipulasi kepentingan anak untuk pencarian bantuan semata. Ini yang harus kita lihat. Kalau mereka jelas-jelas tidak memberikan pengasuhan yang baik dan benar untuk anak, maka izinnya harus dicabut. Peran Pemda untuk melakukan penjangkauan yang benar kepada panti-panti harus sudah dijalankan.

Siapa sebenarnya yang mempunyai hak untuk mengontrol sebuah panti itu benar atau tidak?
Sebenarnya pemerintah, tapi karena aturannya belum ada memang jadi agak rumit. Rekomendasi jelas dari penelitian ini adalah kita harus membangun standarisasi pengasuhan alternatif anak di panti asuhan. Kami ingin nantinya ada akreditasi panti seperti sekolah yaitu akreditasi A, B, C, D. Jadi untuk panti berakreditasi D, kalau setelah tiga bulan atau setahun tidak ada perbaikan maka harus ditutup.

Lalu sejauh mana keterlibatan orang tua di sini ketika menyerahkan anak ke panti?
Mayoritas yang kita temukan, syarat anak diterima di panti harus ada keterangan domisili keluarga. Anak harus dilengkapi dengan dokumen yang jelas. Ada surat pengantar dari kelurahan atau desa yang menyatakan mereka keluarga tidak mampu. Anak harus sehat. Kalau dia usia sekolah, harus ada pengantar dari sekolah sebelumnya. Harus ada tanda tangan menyerahkan dari keluarga. Semua dokumen harus jelas. Pertanyaannya berarti mereka ini sebenarnya anak-anak yang sebelumnya sudah mendapatkan kebutuhan pengasuhan yang benar di keluarga. Selain mereka, sebenarnya ada anak-anak yang lebih membutuhkan. Anak-anak yang di pinggir jalan dan yang keluarganya tidak memiliki KTP berarti sulit untuk masuk panti karena panti tidak mau menerima yang berdokumen tidak jelas.
Lalu yang menarik juga, mayoritas panti yang kami temui menerima anak usia kelas tiga dan empat. Alasannya karena anak sudah bisa hidup mandiri di panti, bisa mencuci pakaian sendiri, membersihkan diri sendiri. Panti tidak akan menerima anak dengan usia di bawah lima tahun, itu sangat jarang kecuali mereka panti-panti yang sangat kuat pendanaannya. Itu karena kalau di bawah lima tahun berarti harus terus didampingi, tidak bisa mandi sendiri, makan sendiri, mencuci pakaian sendiri.




0 komentar:

Posting Komentar