Wudhu’ adalah salah satu syarat
yang harus dipenuhi sebelum melakukan shalat. Sah, atau tidak shalat, sangat
bergantung kepada wudhu’ disamping syarat-syarat lainnya. Oleh sebab itu,
masalah wudhu’ ini supaya diperhatikan benar sehingga shalat dikerjakan tidak
sia-sia.
Mengenai hal-hal yang
membatalkan wudhu’, terdapat perbedaan pendapat para ulama mujtahid. Para ulama
itu mempersoalkan:
1. Keluar sesuatu dari dua jalan
Keluar sesuatu dari dua jalan (
qubul dan dubur ), seperti buang air kecil, buang air besar, keluar madzi (air
kuning encer yang biasanya keluar dari qubul ketika seseorang merasakan
nikmat), wadi (air kental dan putih, serupa dengan mani, biasanya keluar setelah
kencing), mani, angin dan lain-lain. Sebagaimana dalilnya dalam firman Allah:
Artinya: “….atau telah
mendatangi kamu sesuatu dari tempat buang air….”
( An-Nisaa: 43)
Rasulullah SAW. bersabda:
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Artinya : “Allah tidak menerima
shalat seseorang apabila dia berhadats (keluar sesuatu dari salah satu qubul
atau dubur). Sebelum dia berwudhu.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Nabi memerintahkan berwudhu
kepada wanita-wanita yang sedang istihadhah ( semacam darah penyakit ) pada
tiap-tiap akan shalat setelah membersihkannya, dan tidak usah mandi.
Hanafiyah berpendapat apapun yang keluar dari
qubul dan dubur, membatalkan wudhu, baik yang biasa maupun yang tidak biasa (
benda-benda yag tertelan yang bukan makanan, kemudian keluar melalui dubur).
Malikiyah berpendapat bahwa mani yang biasa
keluar tanpa rasa nikmat tidak diwajibkan mandi, dan hanya membatalkan wudhu.
Adapun batu kecil, ulat, cacing, darah dan nanah (yang bercampur dengan darah
atau tidak), yang keluar dari qubul dan dubur tidak membatalkan wudhu dengan
ketentuan, batu kecil (batu ginjal), ulat dan cacing itu berasal dari dalam
perut. Namun apabila batu atau ulat itu tidak berasal dari dalam perut, seperti
tertelan umpamanya, kemudian keluar melalui dubur, membatalkan wudhu.
Syafi’iyah berpendapat bahwa keluar mani tidak
sampai membatalkan wudhu, apakah keluarnya terasa nikmat atau tidak. Namun
mandi wajib, harus dilaksanakan sebab yang mewajibkan mandi salah satunya
adalah keluar mani.
Hanabilah berpendapat bahwa Apabila seseorang
terus menerus berhadats, seperti air kencing terus menerus atau
sebentar-sebentar menetes, tidak membatalkan wudhu, asal setiap shalat
melakukan wudhu.§
2. Hilang akal
Hilang akal bisa disebabkan
gila, ayan, pingsan, mabuk, minum arak, minum obat tidur atau tidur nyenyak
sehingga hilang kesadaran seseorang.
Mengenai hilang akal karena
gila, pingsan dan mabuk telah sepakat ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah
dan Hanabilah, membatalkan wudhu, karena seseorang tidak tahu apakah ia
berhadats atau tidak, seperti keluar angin dan sebab-sebab lainnya yang membatalkan
wudhu.
Mereka berbeda pendapat,
mengenai orang yang tidur apakah batal wudhu atau tidak.
Hanafiyah berpendapat bahwa tidur itu sendiri
tidak membatalkan wudhu, akan tetapi tidur dapat membatalkan wudhu dalam tiga
hal:
1. Tidur dengan berbaring miring
2. Tidur telentang di atas
punggungnya
3. Tidur di atas salah satu
pangkal pahanya
Wudhu seseorang menjadi batal,
apabila dia tidur seperti yang disebutkan di atas.
Malikiyah berpendapat bahwa tidur dapat
membatalkan wudhu, apabila seseorang tidur nyenyak, baik sebentar maupun lama,
baik orang yang tidur itu dalam keadaan berbaring atau duduk atau sujud. Dan
wudhu itu tidak batal dengan tidur ringan (tidak nyenyak) itu berlangsung lama.
Yang dimaksud tidur nyenyak adalah apabila orang yang tidur itu tidak lagi
merasa mendengar suara di sekitarnya.
Syafi’iyah berpendapat bahwa tidur dapat
membatalkan wudhu apabila orang yang tidur itu tidak duduk mantap di atas
tempatnya, misalnya ia tidur sambil duduk atau sambil mengendarai sesuatu tanpa
ada renggang antar tempat duduk dan tempat menetapnya. Jika ia tidur telentang
atau miring; atau tempat duduknya renggang karena ia kurus, maka batalla
wudhunya. Dan wudhu tidak batal disebabkan karena rasa nagntuk, yaitu rasa
berat pada otak tetapi bersamaan dengan itu pula masih dapat mendengar
pembicaraan orang-orang yang ada disekitarnya walaupun tidak dapat memahaminya.
Hanabilah berpendapat bahwa wudhu seseorang
dapat batal dalam dalam keadaaan bagaimanapun juga, kecuali apabila tidurnya
itu sebentar menurut ukuran ‘urf, sedangkan orang itu dalam keadaan duduk atau
berdiri.§\
4. Bersentuhan laki-laki dengan
perempuan
Sentuhan dalam bahasa Arab
disebut dan .
Oleh Syafi’iyah dan Hanabilah
kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama. Berbeda dengan Haafiyah
dan Malikiyah, kedua istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri.
Hanafiyah berpendapat, bahwa persentuhan kulit
laki-laki dengan perempuan, tidak membatalkan wudhu. Hanafiyah mendasarkan
mazhab mereka kepada salah satu hadits dari Aisyah:
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَلْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ
Artinya: “Suatu malam, aku
pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidurku.
Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian
dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di
tempat shalatnya (dalam keadaan sujud).
Pendapat mereka dikuatkan dengan
adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah menyentuh
para istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu` lagi.
Dari Habib bin Abi Tsabit dari
Urwah dari Aisyah ra dari Nabi SAW bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian
istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu`”. Lalu ditanya kepada
Aisyah,”Siapakah istri yang dimaksud kecuali anda ?”. Lalu Aisyah tertawa.( HR.
Turmuzi Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).
Malikiyah berpendapat, bahwa apabila seseorang
menyentuh orang lain dengan tangannya atau dengan anggota badan lainnya, maka
wudhunya batal dengan beberapa syarat.
Persyaratan bagi yang menyentuh
adalah menjadikan wudhunya batal, yaitu:
a. Dia sudah balig
b. Merasakan kenikmatan atau
rangsangan sesudah terjadi sentuhan sengaja atau tidak.
Sedangkan bagi orang yang
disentuh, wudhunya menjadi batal apabila:
a. Apabila kulit yang disentuh
tanpa ada batas penghalang seperti kain, ataupun batasnya ada, tetapi terlalu
tipis.
b. Bagi yang disentuh adalah
orang yang dapat mengundang syahwat atau ada rangsangan.
Wudhu tidak batal jika
bersentuhan dengan gadis kecil dan wanita tua yang tidak mengundang syahwat.
Jadi, persoalan inti dari mazhab Malikiyah ini adalah ada rangsangan (syahwat),
baik bagi yang menyentuh maupun yang disentuh.
Syafi`iyah, menyentuh kulit lawan jenis yang
bukan mahram termasuk yang membatalkan wudhu` secara mutlak. Pendapat mereka
didasarkan pada penafsiran ayat Al-Quran yaitu :
Artinya : “….atau kamu telah
‘menyentuh’ perempuan…(QS. An-Nisa : 43)
Para ‘ulama mengartikan kata
‘menyentuh’ sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima` (hubungan seksual).
Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit, tidak membatalkan wudhu`. Ulama
kalangan Syafi`iyah cenderung mengartikan kata ‘menyentuh’ secara harfiyah,
sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan
mahram itu membatalkan wudhu`.
Menurut mereka, bila ada kata
yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang
harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang
menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.
Hanabilah berpendapat, bahwa wudhu seseorang
menjadi batal, apabila bersentuhan laki-laki dengan wanita disebabkan ada
syahwat dan tidak ada batas penghalang. Golongan ini tidak membedakan antara
wanita mahram dan bukan mahram (ajnabiyah= orang lain), hidup atu mati, muda
atau tua, besar atau kecil. Dalam banyak hal antar Syafi’iyah dan Hanabilah
dalam persoalan ini adalah sama, seperti menyentuh kuku, rambut dan gigi, tidak
membatalkan wudhu. Ada satu hal yang mendasari perbedaan pndapat antara
keduanya yaitu mengenai “mahram”.§
5. Menyentuh kemaluan
Menyentuh kemaluan sendiri dan
kemaluan orang lain terdapat perbedaan pendapat.
Hanafiyah berpendapat, bahwa menyentuh
kemaluan, tidak membatalkan wudhu apakah menyentuh kemaluan sendiri atau orang
lain. Mereka berpegang kepada hadits yang artinya:
Seorang bertanya kepada Nabi: “
Saya menyentuh kemaluan saya sendiri atau katanya seseorang menyentuh
kemaluannya sewaktu shalat, haruskah ia berwudhu? Nabi menjawab, “Tidak,
sesungguhnya ia (kemaluan) adalah bagian dari tubuhmu” (HR.Lima Ahli Hadits dan
dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban).
Kemudian hadits berikutnya,
bertentangan dengan hadits di atas yang berbunyi:
من مس ذكره فليتوضأ
Artinya : “Siapa saja yang
menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (HR.Lima Ahli Hadits dan
dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban).
Golongan Hanafiyah memahami
hadits tersebut dari segi bahasa, bahwa pengertian: فليتوضأ adalah membersihkan (membasuh) tangannya.
Malikiyah berpendapat, bahwa seseorang yang
menyentuh kemaluan wudhunya batal dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Orang itu menyentuh
kemaluannya sendiri.
2. Orang itu sudah balig.
3. Sentuhan itu tanpa batas
penghalang.
4. Sentuhan itu dengan bagian
dalam telapak tangan, atau bagian tepi telapak tangan, atau bagian dalam
jemari, atau bagian tepi jemari atau ujung jari tangan.
Golongan Malikiyah, tidak
mempersoalkan, apakah sentuhan itu merasakan nikmat atau tidak, asal sudah
memenuhi ketentuan di atas, wudhu menjadi batal.
Syafi’iyah berpendapat, bahwa menyentuh
kemaluan sendiri dan orang lain, membatalkan wudhu, bahkan menyentuh kemaluan
mayat pun membatalkan wudhu. Sabda Rasulullah:
“Siapa saja laki-laki yang
menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu, dan siapa saja wanita yang
menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu.” (H.R. Ahmad).
Sebagaimana telah dijelaskan
pada uraian dahulu, bahwa menyentuh wanita tanpa pengahalang batas, membatalkan
wudhu. Menyentuh kemaluan tentu sudah termasuk pengertian di atas, baik
menyentuh kemaluan anak kecil maupun orang mati.
Hendaknya diingat bahwa
pengertian “farj” dalam hadits di atas adalah “qubul dan dubur”. Dengan
demikian, menyentuh dubur pun membatalkan wudhu.
Hanabilah pendapat mereka sama dengan
Syafi’iyah, dan yang berbeda adalah sentuhan dengan belakang telapak tangan pun
membatalkan wudhu, sedangkan Syafi’iyah sentuhan dengan telapak tangan bagian
dalam, membatalkan wudhu, dengan belakang telapak tangan tidak.§
5. Sesuatu yang keluar dari
tubuh selain qubul dan dubur
Sesuatu yang keluar dari tubuh,
seperti nanah, darah dan najis dapat membatalkan wudhu, menurut sebagian ulama
dan tidak membatalkan wudhu menurut pendpaat ulama yang lain.
Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat, bahwa
sesuatu yang keluar selain qubul dan dubur, tidak membatalkan wudhu.
Mereka berpegang kepada Hadits
Anas:
“ Sesungguhnya Nabi pernah
berbekam (diambil darah dari kepala) kmudian beliau shalat tanpa wudhu lebih
dahulu.” (Dikeluarkan oleh Daruquthni)
Hasan mengatakan, bahwa kaum
muslimin tetap mengrjakan shalat dengan luka-luka mereka. Demikian juga ‘Umar
bin Khattab, melakukan shalat, sedangkan lukanya mengeluarkan darah. Demikian
juga Ubbad bin Basyr terkena panah sewaktu shalat, dan ia tetap meneruskan
shalatnya.
Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa
sesuatu yang keluar dari tubuh selain qubul dan dubur dapat membatalkan wudhu.
Hanabilah mengatakan batal
wudhu, bila yang keluar itu banyak menurut ukuran umum sedangkan menurut
Hanafiyah, wudhu batal, bila benda yang keluar itu mengalir dari tempat
keluarnya.
Sebagai landasan adalah hadits
Aisyah:
“Siapa saja (sewaktu sedang
shalat) muntah, mimisan (keluar dahak, atau madzi hendaklah ia berpaling lalu
berwudhu, kemudian meneruskan shalatnya kembali dan dalam melakukan itu semua
ia tidak boleh berkata-kata.” ( Ibnu Majah )
6. Ketawa terbahak-bahak
Ketawa terbahak-bahak
membatalkan shalat dan wudhu menurut Hanafiyah dan tidak batal menurut ulama
selain Hanafiyah.
Bila ketawa seseorang didengar
oleh orang yang disampingnya, maka shalat dan wudhunya batal, tetapi bila
tertawanya tidak didengar orang disampingnya, maka yang batal hanya shalatnya
saja, tidak wudhunya. Kalau hanya tersenyum saja, tidak membatalkan wudhu.
7. Memakan daging unta
Menurut Hanabilah, orang yang
memakan daging unta, wudhunya batal , berdasarkan pada pertanyaan seorang
sahabat kepada Rasulullah SAW. berikut ini: “Apakah kami harus berwudhu karena
memakan daging kambing, wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: Ya kalau engkau
berkehendak. Lalu apakah kami juga harus berwudhu setelah memakan daging unta?
Beliau menjawab, Ya.” ( H.R. Muslim)
Namun demikian, sebagian besar
dari para sahabat tidak mengharuskan berwudhu karena memakan daging hewan
sembelihan, dengan alasan bahwa hadits itu telah mansukh (telakh di nasakh). Di
antar para sahabat itu adalh emapt khalifah terkemuka yaitu Abu Bakar
Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, di
maa mereka tidak berwudhu setelah memakan daging hewan sembelihan.
8. Memandikan dan membawa mayat
Menurut Hanabilah, seseorang
yang memandikan mayat, wudhunya batal , berdasarkan hadits Aisyah:
“ Rasulullah SAW mandi karena
empat sebab: karena janabah, hari Jum’at, berbekam dan karena memandikan
mayat.” (HR. Abu Daud, Ahmad, dan Bayhaqi ).
Juga berdasarkan keterangan yang
menyatakan, bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas memerintahkan orang yang memandikan
mayat supaya berwudhu. Batal wudhu seseorang, bila langsung memandikan mayat
itu, dan tidak batal kalau hanaya sekedar membantu mengguyurkan air saja pada
saat mayat dimandikan.
Dalam keterangan lain, bahwa
disunnahkan untuk berwudhu setelah memandikan mayat, baik yang dimandikan itu
anak kecil maupun orang dewasa. Karena tidak jarang (mungkin) tangan menyentuh
kemaluan sang mayat.
Dalam perkara lain tentang wudhu
karena membawa mayat, Ash- Shan’ani dalam kitab Subul As-Salam mengatakan, “
Saya tidak pernah tahu seorang mengatakan, bahwa membawa mayat itu mewajibkan
wudhu.” Menurutnya, barangsiapa yang membawa mayat langsung dengan tangannya,
ia dianjurkan untuk membasuh tangannya, berdasarkan hadits yang menyatakan,
“…Barangsiapa yang membawa mayat hendaklah berwudhu.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi,
dan An-Nasa’i). Tetapi menurut sebagian besar ulama, hadits dhaif.
9. Murtad
Murtad keluar dari agam Islam
dan berarti orang itu kafir. Murtad adakalanya dengan perbuatan, keyakinan dan
ucapan. Murtad dengan ucapan umpamanya mencaci maki Allah, Rasul, Agama Islam,
menganggap Allah lemah tidak berdaya, dan menyipati Allah dengan sifat-sifat
yang tidak layak.
Murtad dengan perbuatan dan
keyakinan, sebenarnya sudah jelas keluar dari agam Islam. Tetapi, murtad dengan
ucapan ini yang ditekankan di sini, sebab mungkin orang masih menganggap
dirinya tidak murtad dengan ucapannya itu dan dia masih shalat, sedangkan
shalat baru dianggap sah kalu dia berwudhu.
Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah, berpendapat
bahwa wudhu itu tidak batal disebabkan karena murtad.
Namun menurut Syafi’iyah, bahwa
murtad itu tidak membatalkan wudhu bila orang itu murtad (keluar dari Islam)
dalam keadaan sehat dari penyakit beser dan yang semacamnya. Sedangkan orang
yang terkena penyakit beser, maka wudhunya iru batal dengan sebab murtad,
karena kesuciannya itu lemah.
Hanabilah berpendapat bahwa murtad itu dapat
membatalkan wudhu.§
Murtad dapat membatalkan wudhu,
karena menghapuskan semua amal, sedangkan wudhu termasuk juga dalam kategori
amal. Allah berfirman:
Artinya: "…Jika kamu
mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi.( QS. Az-Zumar: 65 )
10. Ragu berwudhu
Menurut Malikiyah orang yang
yakin ia berwudhu atau berat dugaan masih suci, kemudian ia ragu, maka ia wajib
berwudhu. Kemudian apabila yakin seseorang berhadats, kemudian ia ragu ia masih
suci, maka ia harus berwudhu. Berbeda dengan Jumhur selain Malikiyah, bahwa
wudhu seseorang tidak batal sekiranya sudah yakin ia berwudhu. Sebab sesuatu
yang sudah diyakini, tetap berpegang kepada yang diyakini, jangan berpegang
kepada yang ragu. Juga berpegang kepada kaidah:
Artinya: “ Keyakinan tidak dapat
dihilangkan dengan keraguan.”
Sebagaimana diriwayatkan dari
Abbad bin Tamim, dari pamannya, dimana ia menceritakan:
“ Ada seseorang mengadu kepada
Nabi yang membayangkan bahwa ia merasakan sesuatu (kentut) di dalam shalatnya.
Maka beliau pun bersabda: hendaklah ia tidak berpaling, sehingga mendengar atau
mencium baunya.” (HR. Jama’ah, kecuali At-Tirmidzi )
Hadits di atas menunjukkan
diperbolehkannya mengabaikan keragu-raguan yang muncul dalam diri seseorang
yang tengah mengerjakan shalat. Juga rasa bimbang yang oleh Rasulullah disebut
sebagai godaaan setan.
11. Muntah
Di antara ulama ada yang
berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil
hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’dan:
“Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu
padanya, Tsauban pun berkata: “Abu Ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air
wudhu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 87).
Al-Imam Asy-Syaukani
rahimahullah berkata: “Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan
(mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya
pada muntah yang sengaja.” Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini
mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” (Nailul Authar,
1/268).
Asy-Syaikh Ahmad Syakir
rahimahullah di dalam ta’liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah
mengatakan: “Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu
karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.” (ta’liq
beliau dinukil dari Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)2
Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah
ini:
Di antara mereka ada yang
berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut
mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi
mulut dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268).
Al-Imam At-Tirmidzi
rahimahullahu berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’in
berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat
Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul
ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan
mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i. (Sunan At-Tirmidzi, 1/59).
Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang
faqih dari Madinah, Asy-Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab
Asy-Syafi’i, juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar
sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik
sedikit ataupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun
tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’, 1/234).
Mereka berdalil sebagai berikut:
1. Hukum asal perkara ini
tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara
menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.
2. Sucinya orang yang berwudhu
dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘i, maka apa yang telah pasti
tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/ membatalkannya)
kecuali dengan dalil syar‘i.
3. Hadits yang dijadikan dalil
oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama.
4. Apa yang ditunjukkan dalam
hadits ini adalah semata-mata fi‘il (perbuatan) sedangkan yang semata-mata
fi‘il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘, 1/224-225)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
berkata: “Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan
(qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah
dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.
Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas,
Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim
bin Abdillah bin ‘Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘Atha, Mak-hul, Rabi’ah,
Malik, Abu Tsaur dan Dawud. Al-Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat
mayoritas shahabat dan tabi`in.” (Al-Majmu’, 2/63)
Adapun Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail Al-Kubra, beliau berpendapat
hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani
rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah
muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111, 112)
Sementara hadits ‘Aisyah
radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصَابَهَ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذِيٌ فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ…
“Siapa yang ditimpa
(mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas4 atau madzi (di dalam shalatnya)
hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221)
Al-Imam Asy-Syaukani
rahimahullah berkata: “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits
karena setiap periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya
dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij
yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi yang meriwayatkan dari Ibnu
Juraij –yang mereka itu adalah para tokoh penghapal– meriwayatkannya secara
mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang meriwayatkannya secara ittishal
(bersambung) – pen.), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal
Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang mursal ini dinyatakan shahih oleh
Adz-Dzuhli, Ad-Daruquthni dalam kitab Al-’Ilal, begitu pula Abu Hatim dan
beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in
berkata hadits ini dha’if. (Nailul Authar, 1/269)
Al-Hafidz Ibnu Hajar
rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain beliau men-dha’if-kan
hadits ini (Bulughul Maram hal. 36).
DAFTAR PUSTAKAAli, Hasan,
M.,Perbandingan Mazhab Fiqh, PT.Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2000.
Al-Jaziri, Syekh Abdurrahman,
Fiqh Emapat Mazhab diterjemahkan dari Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al- Mazahib Al-Arba’ah
oleh Prof.H.Chatibul Umam dan Abu Hurairah, Darul Ulum Press: Jakarta, 1996.
Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih
Ibadah diterjemahkan dari kitab Fiqh al-‘Ibadaat bi Adaltihaa fii Al-Islam oleh
Abdul Rosyad Shiddiq, Pustaka Al-Kautsar: Jakarta Timur, 2004.
Muhammad ‘Uwaidah, Syaikh Kamil
, Fiqh Wanita diterjemahkan dari kitab Al-Jami’ fii Fiqhi An-Nisa’ oleh M.Abdul
Ghoffar E.M, Pustaka Al-Kautsar: Jakarta Timur, 2008.
http://kampussyariah.com/webx/e2.php?id=38.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=237.
0 komentar:
Posting Komentar