Senin, 24 Oktober 2016

MEMAHAMI SIFAT FITRAH ANAK



  1. Menginginkan Perlindungan dan Bimbingan
    Allah (SWT) berfirman dalam Surat Al-Israa (17) ayat 24:
    وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“…dan katakanlah: “Wahai Tuhanku, berilah rahmat kepada mereka berdua sebagaimana mereka telah melindungi dan membimbingku semasa kecil.”
Allah juga berfirman dalam surat Asy-Syu’araa (26) ayat 18:
قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيدًا وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ 
 “(Fir’aun) berkata: ‘Bukankah kami telah melindungi dan membimbingmu semasa kecilmu dan kau tinggal di tengah kami beberapa tahun dari umurmu.”

Penjelasan:
Allah jadikan anak begitu dilahirkan dalam keadaan lemah, baik fisik, mental, maupun akalnya.  Ia belum dapat berbuat apa pun, selain menangis.  Sudah tentu dalam kondisi yang demikian lemah seorang anak tidak dapat mengurus dirinya sendiri.  Karena itu, anak-anak kecil semacam ini sangat mendambakan perlindungan dari orang yang lebih besar.  Siapakah orang yang lebih besar yang lebih bertanggung jawab terhadap anak-anak yang masih lemah ini?  Adalah ibu bapak mereka yang secara fitrah menjadi dambaan anak-anak ini untuk memberikan perlindungan dan bimbingan.
            Selain perlindungan fisik, anak-anak juga membutuhkan bimbingan mental.  Pada umumnya orang tua mengira bahwa pada permulaan kehadirannya di dunia ini anak-anak belum memerlukan bimbingan mental.  Anggapan semacam ini tidaklah benar.  Sebab anak-anak pada masa bayi sudah memerlukan bimbingan mental,seperti cara mengasihi, cara memahami orang lain, dan lain-lain.
            Kalau kita pelajari firman Allah di atas secara tersurat semata-mata, barangkali kita hanya memperoleh pengertian bahwa ibu bapak telah melakukan tarbiyah kepada anak-anaknya semasa kecilnya.  Padahal sebenarnya dibalik yang tersurat ini kita dapat menemukan isyarat adanya fitrah pada anak-anak yang membutuhkan tarbiyah dari orang tuanya.  Tarbiyah ialah usaha memperhatikan, melindungi, memenuhi kebutuhan makan dan minum, membimbing pertumbuhan mental, dan mengajarkan akhlak yang baik.
            Kita dapat menyaksikan dalam pengalaman hidup sehari-hari betapa kecewanya anak-anak yang merasa dirinya tidak memperoleh perhatian, perlindungan, dan bimbingan dari orang tua mereka.  Kekecewaan ini tidak dapat diobati dengan tampilnya orang lain yang dapat berperan memberikan perlindungan dan bimbingan yang mereka inginkan.  Mereka merasa justru sangat kecewa kalau orang tua mereka sendiri tidak dapat memenuhi keinginan mereka untuk memberikan perlindungan dan bimbingan.

  1. Cenderung  Lebih Mengidolakan Bapak
Allah berfirman dalam surat Al-Kahfi (18) ayat 82:
وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
“… dan di bawah (tembok) itu ada simpanan dari harta kekayaan kedua anak yatim itu, sedang bapak mereka dahulu adalah seorang yang shalih…”
Allah juga berfirman dalam surat Al-Ahzab (33) ayat 5:
فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“… maka kalau kamu tidak mengetahui siapa nama bapak mereka, maka mereka adalah saudara kamu seagama…”
Allah berfirman dalam surat Maryam (19) ayat 28:
يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا
“Wahai saudara perempuan Harun, bapakmu dahulu bukanlah orang yang akhlaknya buruk…”

Penjelasan:
Al-Qur’an menyebutkan bapak lebih menonjol daripada ibu dalam sebagian besar ayat-ayat yang berkenaan dengan keluarga  bukan semata-mata mengikuti langgam bahasa Arab, melainkan justru menegaskan adanya fitrah pada anak yang telah Allah tanamkan sejak azali, yaitu anak cenderung lebih membanggakan bapak daripada ibunya.  Ada beberapa alasan logis yang dapat membantu kita memahami fitrah ini, antara lain:
  1. Laki-laki menjadi benih anak;
  2. Pada umumnya bapak mempunyai kewibawaan lebih besar di mata anak;
  3. Bapak dituntut tanggung jawab yang lebih besar dalam usaha kelangsungan keluarganya;
  4. Allah telah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin dan pengayom keluarga.
Hal ini harus memberikan kesadaran kepada bapak bahwa perkembangan mental anaknya akan menjadi sehat bila para bapak dapak menjadikan diri mereka sebagai orang yang bisa di contoh oleh anaknya.
            Karena itu, orang tua yang mendapati anaknya mengalami gangguan mental, hendaklah melakukan instrospeksi pada dirinya.  Adakah perilaku bapak sebagai orang yang semestinya diteladani mengecewakan anak-anaknya?  Adakah perilaku bapak yang membuat anak-anak malu dihadapan orang lain?
            Bagi anak, bapak adalah idola.  Selama idolanya ini memenuhi hasrat anak, maka anak tidak mudah tergoncang mentalnya.  Akan tetapi, bila mereka kecewa dengan bapak yang diidolakannya, maka anak akan mengalami  kegoncangan mental.

  1. Membanggakan Prestasi Orang Tua
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Ali Imran (3) ayat 188:
لاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَواْ وَّيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُواْ بِمَا لَمْ يَفْعَلُواْ فَلاَ تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ  
“Dan janganlah kamu sekali-kali mengira bahwa orang-orang yang senang berbuat tidak baik, tetapi senang mendapat pujian atas kebaikan yan mereka tidak (turut) melakukannya, selamat dari adzab; dan bagi mereka adzab yang pedih.”
Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 200:
فَاذْكُرُواْ اللّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا  
“…, maka ingatlah kepada Allah seperti kamu mengingat (kebaikan) bapak-bapak kamu atau lebih banyak lagi dari itu…”

Penjelasan:
Pada dasarnya fitrah yang melekat pada masyarakat adalah cerminan dari fitrah individualnya. Oleh sebab itu, fitrah membanggakan prestasi bapak atau nenek moyang yang ada pada masyarakat adalah fitrah individual juga.  Seorang anak yang menikmati kebesaran bapaknya akan lebih mudah mengembangkan potensi dirinya daripada anak yang memulai sendiri membangun prestasinya dari awal di tengah masyarakat.  Sebab itu, anak-anak yang orang tuanya berprestasi cenderung memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan potensinya di tengah masyarakat daripada anak-anak yang prestasi orang tuanya  tidak diketahui masyarakat.  Yang dimaksud  dengan prestasi adalah hasil kerja yang berguna bagi diri dan masyarakatnya.
            Anak-anak yang orang tuanya memiliki kebajikan ditengah masyarakatnya akan mendapatkan berbagai macam keuntungan bagi dirinya.  Diantaranya keuntungan itu ialah:
  1. Pujian dari masyarakat;
  2. Simpati orang-orang yang sejalan dengan orang tuanya;
  3. Perhatian dari masyarakat;
  4. Dorongan semangat untuk berprestasi seperti orang tuanya atau lebih;
  5. Menjadi harapan masyarakat untuk dapat melangsungkan  prestasi orang tuanya;
  6. Mendapatkan identifikasi yang jelas, karena masyarakat turut membantu pengidentifikasian ini.

  1. Prihatin Bila Orang tua Sesat
Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Maryam (19) ayat 45:
يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَن يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحْمَن فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا
“Wahai ayahku tercinta, aku sungguh takut kalau siksa menimpa dirimu dari Tuhan Yang Maha Pemurah, sehingga engkau menjadi teman setan.”

Penjelasan:
Dalam pembahasan ini sesat yang dimaksud adalah benar-benar perbuatan atau perilaku yang menyalahi ketentuan Allah dan RasulNya dan dipandang sesat oleh akal manusia yang sehat, misalnya: korupsi, mencuri, berzina, membunuh orang, menipu, mengganggu ketentraman masyarakat, dan lain-lain.
            Anak selalu menyadari bahwa orang tua yang perilakunya sesat sering menimbulkan akibat buruk dalam pergaulan putra-putrinya di tengah masyarakat.  Masyarakat mengaitkan kelakuan anak dengan kelakuan orang tuanya.  Sering terjadi masyarakat berprasangka buruk terhadap anak-anak yang perbuatan orang tuanya jahat dan sesat.  Seorang pencuri misalnya, perbuatannya sering kali mengakibatkan anaknya terkucilkan dari pergaulan dengan teman-teman sebayanya yang menjadi teman sepergaulan.  Padahal anak bersangkutan dikenal sebagai anak yang baik, rajin, dan pandai di sekolah serta ramah dengan orang lain.  Akan tetapi, karena ia anak dari seorang pencuri, maka tanpa pandang bulu masyarakat menilainya sebagai orang yang tidak baik juga.  Dampak negatif semacam ini pasti membuat anak sedih dan prihatin.  Inilah yang dimaksud bahwa anak prihatin bila orang tuanya sesat.

  1. Tidak Senang Bila tidak Dipercayai Oleh Orang tua
Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Yusuf (12) ayat 11:
قَالُواْ يَا أَبَانَا مَا لَكَ لاَ تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ
“Mereka (anak-anak Ya’qub) berkata: “Wahai ayah kami, mengapa engkau tidak mau mempercayai kami tentang Yusuf, padahal kami sungguh-sungguh berlaku jujur kepadanya.’”

Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Yusuf (12) ayat 18:
وَجَآؤُوا عَلَى قَمِيصِهِ بِدَمٍ كَذِبٍ قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنفُسُكُمْ أَمْرًا فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ  
“Dan mereka (anak-anak Ya’qub) datang dengan membawa gamis yang dilumuri darah palsu. (Ya’qub) berkata: ‘Bahkan nafsu-nafsu kamu telah membelokkan kamu untuk melakukan hal itu.  Karena itu, kesabaran(ku) adalah kesabaran yang baik…”

Penjelasan:
Allah telah menciptakan naluri harga diri pada setiap manusia.  Hal ini Allah firmankan dalam QS Al-Israa’ (17) ayat 70:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ

“Dan sungguh Kami telah muliakan anak-anak Adam…”

Sejak kecil manusia telah memiliki tuntutan untuk dihargai oleh orang lain.  Anak-anak pun memiliki tuntutan untuk dihargai oleh orang tuanya.  Penghargaan yang diharapkan oleh anak dari orang tuanya minimal adalah rasa percaya orang tua terhadap anak-anaknya, terutama bila anak-anak telah dewasa dan merasa mampu untuk berbuat sendiri.  Pada saat semacam ini, anak merasa tidak senang bila untuk melakukan sesuatu selalu dinasehati, dikendalikan, atau diarahkan oleh orang tuanya.  Anak merasa kehilangan kemandirian bila orang tuanya selalu mengendalikan atau mengarahkan atau menggurui apa yang akan dikerjakan olehnya.
            Apalagi kalau anak telah meyakinkan orang tuanya bahwa dirinya mampu melakukan sesuatu, tetapi orang tuanya tidak mau mempercayainya, hal ini akan merusak citra dirinya.  Contoh yang Allah kemukakan dalam kasus putra-putra Nabi Ya’qub yang ingin membawa Yusuf bermain-main bersama mereka ke tengah padang pasir adalah sesuatu yang sangat fitrah.  Walaupun masalahnya sangat sederhana, yaitu mengajak adiknya untuk bermain-main ditempat yang jauh, tetapi karena orang tuanya tidak mau mempercayai apa yang hendak dilakukan terhadap adiknya, maka hal ini membuat putra-putra Nabi Ya’qub tersebut merasa sangat sedih.
            Adanya fitrah pada anak tidak senang kalau tidak dipercayai oleh orang tuanya, hendaknya dapat menjadi petunjuk bagi orang tua dalam membina hubungan dengan anaknya.  Rasa percaya orang tua kepada anak dapat membantu membina kepribadiannya yang baik.  Sebaliknya, sikap orang tua yang tidak percaya pada kemampuan anaknya atau kejujurannya dapat mengganggu sikap percaya diri anak.
            Orang tua boleh tidak percaya pada anaknya bila anak memang berlaku tidak jujur atau tidak amanah, karena hal semacam ini dapat mendidik anak-anak untuk meninggalkan akhlaknya yang tercela.  Akan tetapi, orang tua tidak boleh terus menerus tidak mempercayai anaknya karena sesuatu kasus, padahal anak telah memperbaiki dirinya dengan sungguh-sungguh dan bertaubat dari kesalahannya.  Sebab sikap orang tua semacam itu terhadap anaknya dapat mengakibatkan rasa tidak tentram anak tinggal di lingkungan orang tuanya.
  1. Tidak Senang Dianaktirikan oleh Orang tua
Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Yusuf (12) ayat 8:
إِذْ قَالُواْ لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَى أَبِينَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّ أَبَانَا لَفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ
“(Ingatlah) ketika mereka (putra-putra Ya’qub) berkata: ‘Yusuf dan saudaranya sungguh-sungguh lebih dicintai oleh ayah kita daripada kita, padahal kita ini banyak.  Ayah kita sungguh jelas sekali kelirunya.’”

Penjelasan:
Orang tua yang mempunyai banyak anak harus menyadari adanya fitrah pada setiap diri anak-anaknya.  Setiap anak tidak senang dianaktirikan oleh orang tuanya dengan alasan apa pun, terutama kalau yang dianak-emaskan orang tuanya adalah saudaranya yang berperilaku kurang baik.  Anak sangat peka merasakan apa yang terpendam di hati orang tuanya terhadap dirinya.  Banyak orang tua tidak menyadari bahwa sorot mata, suara ketika berbicara, dan langkah kaki orang tua yang didalam hatinya tersimpan sikap membedakan anak-anaknya terasa benar oleh anak-anaknya.  Anak dapat memberikan penilaian terhadap sikap orang tuanya yang menganak-tirikan tidak hanya diketahui melalui pernyataan-pernyataan lisan yang jelas, tetapi juga melalui isyarat-isyarat yang halus.
            Bilamana putra-putra seorang nabi yang yakin bahwa ayahnya adalah orang pilihan Allah untuk menjadi teladan bagi umat manusia merasa dianak-tirikan, sehingga membuat dirinya tidak senang kepada orang tuanya, maka sikap semacam ini harus kita pahami sebagai fitrah yang melekat pada diri setiap anak.
            Sebagaimana orang tua mempunyai fitrah ingin anak-anaknya memuliakan dirinya dan berbakti kepadanya secara jujur dan ikhlas, maka anak-anakpun menghendaki orang tuanya berlaku jujur dan adilterhadap semua putranya.
            Ada kecenderungan pada orang tua lebih mencintai anaknya tertentu tanpa dapat dijelaskan secara rasional.  Kecenderungan semacam ini kalau tidak dikoreksi akan merusak hubungan orang tua dengan anak.  Dalam Hadith berikut disebutkan bahwa Rasulullah (SAW) bersabda:
“Samakanlah pemberian kepada anak-anak kamu.” (Thabrani)
Dalam Hadith dari Anas berikut juga disebutkan:
“Seorang laki-laki pernah berada di sisi Nabi (SAW), lalu salah seorang putranya datang kepadanya, kemudian ia menciumnya dan mendudukkannya diatas pangkuannya, dan datang pula kepadanya salah seorang anak perempuannya, lalu ia dudukkan anak perempuannya itu didepannya.  Lalu Nabi (SAW) bersabda kepada laki-laki itu: “Mengapa engkau tidak perlakukan sama antara keduanya?” (HR. Thabrani)

            Hadits di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa Islam mengoreksi ketidakadilan orang tua dalam memperlakukan anak-anaknya.  Sekalipun hanya memangku anak, Rasulullah (SAW) menyuruh orang tua untuk berlaku adil.  Hal ini sejalan dengan fitrah yang Allah tanamkan pada diri setiap anak, yaitu tidak senang diperlakukan secara tidak adil oleh orang tua mereka.

  1. Senang Bila Orang tua Seaqidah
    Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Maryam (19) ayat 43:
    يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا  
“Wahai ayahku tercinta, sesungguhnya telah dikaruniakan kepadaku ilmu yang tidak engkau peroleh.  Karena itu, ikutilah aku, niscaya engkau akan kuberi petunjuk ke jalan yang lurus.”

Penjelasan:
Agama merupakan dasar membangun nilai-nilai kehidupan bagi individu, keluarga, masyarakat, dan bangsa.  Dalam lingkungan keluarga, bila agama yang dianutnya satu, maka terciptanya nilai-nilai kehidupan bagi keluarga bersangkutan akan lebih mudah.  Adanya dasar berpijak yang sama antara orang tua dan anak akan menciptakan keharmonisan lebih besar dalam keluarga bersangkutan.
            Perbedaan agama dalam satu keluarga akan membawa dampak serius bagi keharmonisan mereka.  Karena dasar tata cara hidup masing-masing agama berpengaruh bagi pemeluknya.  Misalnya, anak beragama Islam, sedang orang tuanya non-Islam.  Dalam masalah makan dan minum akan terjadi perbedaan tajam antara pemeluk agama yang berbeda ini.
            Karena itu, anak yang beragama Islam merasa sangat sedih bila orang tuanya berlainan agama dengan dirinya.  Pertama, karena hal ini dapat menimbulkan hubungan tidak harmonis di dalam keluarga.  Kedua, karena kelak di akhirat tidak dapat bertemu kembali.  Sebaliknya, anak dan orang tua yang sama-sama Islam, Insya Allah kelak di akhirat dapat berkumpul kembali.  Menyadari hal semacam ini, anak merasa sedih.  Karena itu, adalah suatu kebahagian bagi anak bilamana orang tua dan dirinya sama-sama berada dalam satu aqidah tauhid dan beramal shalih.

  1. Membela Martabat Orang tua Bila Dihinakan Orang
    Allah berfirman dalam Surat Maryam (19) ayat 28-33
    يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا   فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَن كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا  وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا  وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدتُّ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
“’Wahai saudara perempuan Harun, ayahmu bukanlah orang jahat dan ibumu bukan pula wanita nakal.’ Lalu ia (Maryam) mengisyaratkan kepada bayinya, lalu mereka berkata: ‘Bagaimana kami dapat berbicara dengan bayi dalam buaian?’ Ujarnya: ‘Aku ini sesungguhnya seorang hamba Allah.  Dia kelak memberiku kitab dan menjadikan aku seorang nabi.  Dan Dia menjadikan aku orang yang diberkati di mana pun aku berada dan mewajibkanku shalat dan zakat selama aku hidup.  Dan (aku) berbakti kepada ibuku dan tidak menjadikan aku orang yang sombong lagi celaka.  Dan keselamatan terlimpah kepadaku pada saat aku dilahirkan, saat aku mati, dan saat aku dibangkitkan kembali dari kubur.’”

Penjelasan

Pada diri setiap anak secara fitrah telah tertanam semangat untuk menjaga kehormatan orang tua dan keluarganya di tengah-tengah pergaulan dengan orang lain.   
            Bagi anak, harga diri orang tua merupakan bagian dari harga dirinya juga.  Karena itu, penghinaan orang lain terhadap orang tuanya, berarti penghinaan terhadap dirinya juga.
            Kesadaran semacam ini telah Allah kisahkan pada kasus Isa (AS) dengan ibundanya. Ketika Maryam, seorang perawan yang suci, melahirkan seorang anak tanpa suami, ia mendapat tuduhan dari kaumnya sebagai wanita nakal.  Dengan kekuasaan dan iradah Allah, bayi yang masih dalam buaian itu menjawab tuduhan keji terhadap ibunya itu.  Bayi yang menurut lazimnya tidak dapat berbicara, dengan mu’jizat dari Allah akhirnya sanggup berbicara dengan orang-orang yang menuduh Maryam berbuat zina.  Bayi ini menolak tuduhan orang-orang tersebut terhadap bayinya.
            Adanya sifat ini hendaklah disadari oleh orang tua agar mereka tidak melakukan hal-hal yang menodai nama baik dirinya.  Karena nama buruk yang melekat pada orang tua membuat anak merasa terhina di hadapan orang lain.
Karena itu, setiap orang tua hendaklah menjaga martabatnya dalam pergaulan dengan orang lain agar anak-anaknya tidak turut merasa terhina oleh kelakuan buruk orang tuanya.

  1. Senang Mendapatkan Restu Orang tua
Allah berfirman dalam Surat Al-Anbiyaa’ (21) ayat 78 dan 79:
وَدَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ  فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُودَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ  
 “Dan (ingatlah) Dawud dan Sulaiman, ketika keduanya mengadili perkara kebun, yang dirusak oleh kambing-kambing kaum itu; dan adalah Kami menyaksikan keputusan itu.  Lalu Kami berikan pemahaman kepada Sulaiman dan masing-masingnya Kami beri hikmah dan ilmu…”

Penjelasan
Setiap anak pada dasarnya sangat mengharapkan agar setiap sesuatu yang dilakukannya direstui atau diridhai oleh orang tuanya.  Keridhaan orang tua memberikan kekuatan batin tersendiri bagi anak, terutama bila anak dan orang tua berbeda pendirian dalam suatu masalah.  Bagi anak, keridhaan orang tua menerima sikap anak yang berbeda dengan sikap orang tua adalah suatu kekuatan tersendiri untuk membentuk kepribadian mandiri.
            Selain itu, Islam pun menegaskan adanya keridhaan orang tua sebagai salah satu kondisi  bagi anak untuk memperoleh keridhaan Allah.  Tersebut dalam Hadith berikut:
Dari Ibnu ‘Amr, dari Nabi SAW: “Keridhaan Allah terdapat dalam keridhaan ayah; dan kemurkaan Allah terdapat dalam kemurkaan ayah.” (HR Tirmidhi dan Hakim)
Dalam Hadits lain disebutkan pula:
“Dari Ibnu ‘Amr, dari Nabi SAW: “Keridhaan Allah terdapat pada keridhaan ayah bunda; dan kemurkaan Nya terdapat pada kemurkaan mereka.” (HR Thabrani)
Selain itu, sangat diperingatkan kepada anak akan pentingnya do’a orang tua bagi dirinya agar mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat.  Tersebut di dalam Hadith berikut:
Dari Anas, Nabi SAW, bersabda: “Tiga macam do’a yang tidak akan ditolak oleh Allah, yaitu: do’a orang tua untuk anaknya, do’a orang yang sedang berpuasa; dan do’a orang yang sedang merantau.” (HR. Abu Hassan bin Mahrawaih dan Dliya’)

            Para orang tua harus menyadari akan pengaruh kejiwaan keridhaan mereka terhadap anak-anaknya.  Anak sangat tertolong dalam melangkahkan kakinya mengusahakan keinginan dan cita-citanya bila orang tua meridhainya.  Karena itu, sebelum menyatakan ridha atau tidak ridha tentang apa yang hendak dilakukan oleh anaknya, orang tua hendaklah mempertimbangkan masalahnya berdasarkan ajaran Islam.

  1. Cenderung Mengikuti Jejak Orang tua
    Allah berfirman dalam Surat Al-Maa’idah (5) ayat 104:
    وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُواْ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ  
    “Apabila kepada mereka dikatakan: ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya,’maka mereka menjawab: ‘Cukuplah bagi kami apa yang telah kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.’Dan apakah mereka akan mengikuti juga bapak-bapak mereka, sekalipun bapak-bapak mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk?”
    Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Yunus (10) ayat 78:
    قَالُواْ أَجِئْتَنَا لِتَلْفِتَنَا عَمَّا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا وَتَكُونَ لَكُمَا الْكِبْرِيَاء فِي الأَرْضِ وَمَا نَحْنُ لَكُمَا بِمُؤْمِنِينَ  
    “Mereka berkata: ‘Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan  di muka bumi? Dan kami sama sekali tidak mempercayai kamu berdua.’”
    Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raaf (7) ayat 28:
    وَإِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً قَالُواْ وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءنَا وَاللّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاء أَتَقُولُونَ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
    “Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, lalu mereka berkata: ‘Kami dapati bapak-bapak kami telah melakukan hal semacam ini, dan Allah menyuruh  kami mengerjakannya,’maka katakanlah: ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh melakukan kekejian.’Mengapa kamu mengatakan kebohongan atas nama Allah tentang apa yang tidak kamu ketahui?”
    Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Yusuf (12) ayat 38:
    “Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku, yaitu Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub.  Tidak patut bagi kami mempersekutukan apapun dengan Allah.  Demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan semua manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak mau bersyukur.”

    Penjelasan:
    Allah telah menciptakan manusia dengan naluri atau fitrah meniru yang lebih dulu ada.  Kebanggaan mewarisi jejak nenek moyang atau orang tua mempunyai nilai positif dan negatif.  Bernilai positif apabila jejak langkah yang diikuti oleh anak-anak merupakan jalan yang benar.  Yang dimaksud dengan jalan yang benar ialah jalan yang diajarkan oleh Allah melalui para rasul dan nabiNya. Bernilai negatif apabila jejak langkah yang diikuti anak-anak merupakan jalan yang tidak diridhai oleh Allah.
            Fitrah pada anak untuk mengikuti jejak orang tuanya dinilai sangat positif bagi pembinaan nilai keluarga dan masyarakat.  Karena itu, orang tua ataupun generasi tua harus menyadari perlunya menanamkan kebiasaan dan tradisi yang bersumber pada Allah dan RasulNya. Dengan menanamkan kebiasaan dan tradisi yang benar, maka akan mudah bagi anak-anak untuk meniti jalan kehidupan yang benar pula.  Dengan cara ini, anak-anak maupun generasi muda tidak tersia-siakan energinya untuk mencari nilai-nilai kebenaran.

0 komentar:

Posting Komentar