Senin, 24 Oktober 2016

Memahami Anak, Menyuruh Tanpa Memaksa


"      Ah mana mungkin, disuruh dengan paksa saja, tidak mau belajar, apalagi kalau tanpa dipaksa, mana mau ia belajar sendiri", "Itukan hanya mudah dikatakan, kenyataannya sulit kita tanpa memaksa". Begitulah sebagian komentar para ibu ketika mengikuti ceramah tentang bagaimana menjadi ibu yang efektif. Apakah pendapat mereka itu benar ? Mungkin pembaca juga berpendapat demikian ? Sebelum kita menjawab persoalan ini, kita simak dulu, mengapa anak tidak boleh dipaksa ?
       Memaksa, memang cara termudah dan tercepat untuk mewujudkan perilaku yang dikehendaki pada orang yang kita inginkan berubah perilakunya, misalnya dari malas belajar menjadi rajin belajar, dari tidak mau mandi menjadi mau mandi, dari tidak mau makan, menjadi bersedia makan. Cara demikian biasanya dilakukan dengan dasar "conditioning", pembiasaan, dengan tujuan agar anak nantinya terbiasa berperilaku yang dikehendaki. Pandangan demikian bersumber dari aliran psikologi "behaviorisme" yang berkembangan pesat di Amerika ditokohi antara lain : Watson, Skinner, Thorndike, juga di Rusia, yang dipelopori oleh Ivan Pavlov. Teori mereka ini juga diterapkan dalam pembelajaran. Memang teori ini lebih berorientasi kepada hasil akhir, tanpa peduli bagimana proses mendapatkan hasil itu. Namun cepat atau lambat, model pemaksaan perilaku demi mencapai hasil akhir, seperti: asal dapat ranking, asal dapat nilai baik, menghasilkan generasi ingin serba "instan". Tak perlu belajar yang penting bisa menjawab soal dengan berbagai teknik "nyontek" yang canggih.Tak perlu paham, yang penting hafal, toh soalnya kaya gitu juga. Untuk apa berpikir, santai saja, yang penting bisa lulus, begitulah antara lain isi "belief system" yang terbentuk dalam diri anak, karena program "pemaksaan" tadi. Dan lebih jauh eksesnya terlihat pada perilaku kesehariannya, tak mau kerja tanpa ada  pamrihnya (nilai pemaksa perilaku, misalnya upah), sulit berkembang daya inisiatifnya, jauh dari kreatifitas, bahkan lebih parah, jiwanya seolah hilang, jiwa tanpa jiwa, dia hidup tapi berperilaku bagaikan robot, baru bergerak bila dipencet remote controlnya oleh orang lain. Coba amati perilaku sebagian  peserta didik sekarang ini, mereka baru mulai memagang buku pelajaran bila  "remote control" nya dipencet oleh gurunya, misalnya dalam bentuk diberi PR, diadakan ulangan/ujian,. Padahal mereka tahu bahwa kegiatan belajar itu untuk dirinya, untuk kepentingan masa depannya. Tetapi cuma sekedar tahu,  jauh dari menyadarinya. Semua itu,  sekali lagi, adalah buah dari pemaksaan. Bahkan saking kuatnya pemaksaan itu, tumbuh kesadaran lain yang berlawanan, misalnya anak dipaksa belajar, maka tumbuh kesadaran bahwa belajar itu untuk mama, pintar itu, ranking itu, untuk bapak. Bila pingin sesuatu dari bapak atau ibu, maka anak berkata, kalau tidak dibelikan itu, aku tidak mau sekolah lagi. Dengan ancaman itu, anak seperti berada di atas angin, karena ibu bapaknya menjadi panik, konsultasi kesana kemari, agar anaknya mau sekolah lagi. Coba kita renungkan bagaimana perilaku anak itu nanti kalau sudah terjun ke masyarakat ? Yah....... tak perlu lama-lama merenung, sekarang sudah terjadi di sekitar kita. Lalu bagaimana ?

       Kembali ke pokok permasalahan, menyuruh tanpa memaksa. Bisakah ? Ya, Insya Allah, bisa. Mulailah dari bekal pemahaman perilaku anak. Seribu anak memang akan akan memunculkan seribu karakteristik perilaku, sehingga sulit kita menyamaratakan pola asuhan dan perlakuan terhadap anak. Ada anak yang penurut, ada anak yang suka membantah. Ada anak yang gesit, ada pula yang lamban. Ada anak yang ceria, ada juga yang mudah ngambek, dan sebagainya. Lalu bagaimana sikap kita ? Mulailah dari langkah sederhana sebagai berikut.

1. Memberikan "makanan jiwa" anak dengan tiga "A", yairu: Afection, yaitu memberi anak kasih sayang yang tulus, tanpa mengharap balas. Jangan katakan, misalnya: Ibu sayang kamu, kalau kamu mau rajin belajar". Ini pertanda kasih sayang tak tulus. Ketahuilah, jiwa anak diberikan oleh Tuhan kepekaan menangkap suara batin ketidak tulusan ini. Lalu,Atention, yaitu  memberi perhatian yang tulus terhadap yang memang dibutuhkan oleh anak, terutama yang berkaitan dengan perkembangan fisik dan psikisnya. Misalnya alat permainan edukatif yang disenanginya. Inipun harus tulus, jangan dikaitkan dengan keinginan orang tua terhadap anaknya, misalnya: " ibu mau belikan mainan, bila kamu mau makan".Selanjutnya Afirmation/Apreciation, yaitu penghargaan terhadap anak juga secara tulus. Bila anak mau berinisiatif mencoba sesuatu, berilah dia kesempatan, jangan dilarang hanya karena pertimbangan anak belum besar.atau anak belum bisa. Biar dia mencoba, dan seberapapun  bisanya, berilah dia penghargaan berupa pujian, bukan penyesalan.seperti kata seorang bapak:" Kan sudah bapak bilang, kamu belum besar, jadi gagal kan ? Jangan katakan hal seperti itu.

2. Tampilkan perilaku kita yang terbaik dihadapan anak, yaitu perilaku ramah, lembut, sopan, tulus ikhlas, dan menjaga emosi kita agar tetap terkontrol, meskipun di depan anak yang sedang bandel. cerewet, nakal, dan perilaku menjengkelkan lain. Ini memang berat, tapi ini tugas kita dalam mengemban tanggungjawab terhadap "titipan" Tuhan.

3. Biasakanlah mengolah pola komunikasi dengan anak secara dialog, dua arah, bukan monolog, hindari komunikasi yang hanya satu arah dari orangtua ke anak berupa nasehat, anak disuruh mendengarkan saja, tak boleh menjawab atau membantah.

4. Buatlah setiap kata suruhan dalam bentuk kata tanya atau ajakan, misalnya : Nak,...kayanya sudah waktunya kita belajar, ayo, ibu temani ? Atau, Sayang.......bagaimana baiknya sekarang, kita stop sementara bermainnya, kita ganti dengan sama-sama baca cerita ?

5. Secara perlahan, sedikit demi sedikit, dalam dialog dengazn anak kita berikan masukan cerita tentang penting kesadaran melakukan sesuatu dengan menyuntikkan kata-kata- sugesti. Misalnya, nak..kamu tahu ngak, itu tu, tokoh.......itu dulu rajin banget membaca, akhirnya jadi orang besar" Suntikan ini nanti dapat berfungsi sebagai "pemaksa" dari dalam diri anak, sehingga anak berperilaku berdasarkan kesadarannya sendiri, "dipompa unsur pemaksa" dari dalam dirinya.

       Akhirnya, pertanyaan di atas tadi tentang mungkinkah menyuruh tanpa memaksa itu bisa dilakukan ? Jawabannya bisa pembaca buat sendiri setelah membaca tulisan ini. Lalu, bagaimana komentar anda ?

0 komentar:

Posting Komentar