Yayasan Al - Mawaddah Rempoa

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-nya dan berjihadlah pada jalan-nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Al-Maidah [5] : 35).

Allah berfirman, artinya, “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,” (QS. al-Baqarah 2:177)

“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, …”. (Q.S. Al Baqarah, 2:215)

Rasululloh S.A.W bersabda "Sebaik-baik rumah tangga muslim ialah yang di dalamnya ada anak yatim yang dilayani dengan baik" (H.R. Ibnu Majah)

“Tahukah kamu orang yang mendustakan Agama, itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin “{QS. Al-ma’un : 1-3}

Sabtu, 30 Desember 2017

Happy New Years?

Bismillah

Happy New Years?

How could you?

Ali Imran, ayat 100-101

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقاً مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمانِكُمْ كافِرِينَ (100) وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلى عَلَيْكُمْ آياتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ (101)

Hai orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti sebagian orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir sesudah kalian beriman. Bagaimanakah kalian (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian? Barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.

Allah Swt. memperingatkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar jangan sampai taat kepada kemauan segolongan Ahli Kitab yang selalu dengki terhadap kaum mukmin, karena kaum mukmin telah mendapat anugerah dari Allah berkat kemurahan-Nya, dan telah mengutus Rasul-Nya kepada mereka. Dalam ayat yang lain disebutkan oleh firman-Nya:

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمانِكُمْ كُفَّاراً حَسَداً مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ

Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran seielah kalian beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri. (Al-Baqarah: 109)
Sedangkan di dalam ayat ini disebutkan:

{إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ}

jika kalian mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi kafir sesudah kalian beriman. (Ali Imran: 100)

Kemudian Allah Swt. berfirman:

{وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ}

Bagaimanakah kalian (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian? (Ali Imran: 101)

Yakni kekafiran sangat jauh dari kalian dan semoga Allah menjauhkan kalian darinya. Karena sesungguhnya ayat-ayat Allah terus-menerus diturunkan kepada Rasul-Nya malam dan siang hari, sedangkan beliau Saw. membacakannya kepada kalian dan menyampaikannya. Makna ayat ini sama dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:

وَما لَكُمْ لَا تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالرَّسُولُ يَدْعُوكُمْ لِتُؤْمِنُوا بِرَبِّكُمْ وَقَدْ أَخَذَ مِيثاقَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Dan mengapa kalian tidak beriman kepada Allah, padahal Rasul menyeru kalian supaya kalian beriman kepada Tuhan kalian. Dan sesungguhnya Dia telah mengambil perjanjian kalian jika kalian adalah orang-orang yang beriman. (Al-Hadid: 8)

Juga sama dengan makna yang terkandung di dalam sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepada para sahabatnya di suatu hari:

«أَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَعْجَبُ إِلَيْكُمْ إِيمَانًا؟» قَالُوا: الْمَلَائِكَةُ. قَالَ: «وَكَيْفَ لَا يُؤْمِنُونَ وَهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ» ؟ وَذَكَرُوا الْأَنْبِيَاءَ، قَالَ «وَكَيْفَ لَا يُؤْمِنُونَ وَالْوَحْيُ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ؟» قَالُوا: فَنَحْنُ. قَالَ «وَكَيْفَ لَا تُؤْمِنُونَ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟» قَالُوا: فَأَيُّ النَّاسِ أَعْجَبُ إِيمَانًا؟ قَالَ: «قَوْمٌ يَجِيئُونَ مِنْ بَعْدِكُمْ يَجِدُونَ صُحُفًا يُؤْمِنُونَ بِمَا فِيهَا»

"Orang mukmin manakah yang paling kalian kagumi keimanannya?" Mereka menjawab, "Para malaikat." Nabi Saw bersabda, "Mengapa mereka tidak beriman, padahal wahyu selalu diturunkan kepada mereka." Mereka berkata, "Kalau demikian, kamilah." Nabi Saw. bersabda, "Mengapa kalian tidak beriman, padahal aku berada di antara kalian." Mereka bertanya, "Maka siapakah yang paling dikagumi keimanannya, kalau demikian?" Nabi Saw. menjawab, "Suatu kaum yang datang sesudah kalian. Mereka menjumpai lembaran-lembaran (Al-Qur'an), lalu mereka beriman kepada apa yang terkandung di dalamnya."
Kami mengetengahkan sanad hadis ini dan juga keterangan mengenainya pada permulaan syarah Imam Bukhari.
*******************
Kemudian Allah Swt. berfirman:

{وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}

Barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang benar. (Ali Imran: 101)
Yakni selain dari itu berpegang teguh kepada agama Allah dan bertawakal kepada-Nya menipakan sumber hidayah dan sekaligus sebagai penangkal dari kesesatan, sebagai sarana untuk mendapat bimbingan, beroleh jalan yang lurus, dan mencapai cita-cita yang didambakan.

Jumat, 29 Desember 2017

7 Tanda Bahagia Menurut Rasulullah SAW

Bismillah

7 Tanda Bahagia Menurut Rasulullah SAW

Manusia pasti ingin hidup bahagia, damai, dan sejahtera. Ada yang bekerja keras untuk menghimpun harta, dan menyangka bahwa pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagiaan.

Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta dan kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebutnya. Menurutnya kekuasaan identik dengan kebahagiaan dan kenikmatan dalam hidup, dengan kekuasaan seseorang dapat berbuat banyak.

Orang sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan. Orang miskin menyangka, bahagia terletak pada harta kekayaan.
Ibnu Abbas seorang sahabat Rasulullah pernah ditanya tentang kebahagiaan, beliau menjawab ada tujuh tanda kebahagiaan hidup seseorang di dunia.

1. Pertama, qalbu syakir yaitu hati yang selalu bersyukur. Bersyukur kepada Allah dan menerima apa yang dia dapatkan untuk digunakan demi kebaikan. Orang yang pandai bersyukur maka ia akan cerdas memahami kasih sayang Allah, apapun yang diberikan-Nya selalu bernilai dan membuat dekat kepada-Nya.

Ia selalu menerima keputusan Allah dengan positif, jika ditimpa kesulitan maka ia ingat dengan sabda Rasulullah: kalau sedang dalam kesulitan, maka perhatikan orang yang lebih sulit dari dia.

Bila diberi kemudahan, maka ia sadar bahwa itu adalah ujian dan semakin bersyukur, jika bersyukur maka Allah akan menambah nikmat dan kemudahan yang lebih besar daripada nikmat yang telah diterima.

2. Kedua, al-Azwaj al-shalihah, pasangan hidup yang saleh, menciptakan suasana rumah yang nyaman dan menurunkan keluarga yang saleh. Pada hari kiamat nanti seorang suami akan diminta tanggungjawabnya dalam membimbing istri dan anak. Tentu berbahagia menjadi istri dari suami yang saleh, yang selalu mengajak kepada kebaikan, dan berbahagia menjadi suami dari istri yang tulus selalu mendampingi.

3. Ketiga, al-aulad al-abrar, anak-anak yang saleh.

Anak yang senantiasa berbakti dan mendoakan kedua orangtua. Rasulullah ketika selesai melakukan tawaf bertemu dengan seorang pemuda yang lecet dipundaknya. Kemudian beliau bertanya wahai pemuda kenapa pundakmu itu?

Pemuda tersebut menjawab, aku mempunyai ibu yang sudah tua, ibuku itu tidak mau jauh dariku, aku sangat menyayanginya. aku selalu melayani dan menggendongnya ketika aku selesai salat dan istirahat.
Kemudian pemuda itu bertanya apakah dia termasuk orang yang bakti kepada orangtua.

Kemudian Rasulullah menjawab, engkau termasuk anak yang saleh dan berbakti, akan tetapi kebaikan yang kamu lakukan tidak sepadan dengan cinta orangtuamu kepadamu. Cinta orangtuamu tidak terbalaskan hanya dengan itu.

4. Keempat, al-bi‘ah al-sholihah, lingkungan yang baik dan kondusif untuk keimanan, lingkungan yang mengingatkan dan mendorong kepada kebaikan. Mengenal siapapun untuk dijadikan teman tidaklah dilarang, namun untuk menjadikan sebagai sahabat karib haruslah orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan.

Rasulullah menganjurkan kita untuk bergaul dengan orang saleh, yaitu orang yang mengajak kebaikan dan mengingatkan jika berbuat salah. Karena orang saleh itu memiliki pancaran cahaya yang dapat menerangi orang-orang di sekelilingnya.

5. Kelima, al-mal al-halal yaitu harta yang halal.

Islam tidak melarang orang menjadi kaya, tetapi yang penting adalah kualitas harta bukan kuantitas harta. Rasulullah bersabda: Akan tiba suatu zaman di mana orang tidak peduli lagi terhadap harta yang diperoleh, apakah ia halal atau haram.

14 abad lebih, setelah Rasulullah menyatakan hadis ini, kita sedang menyaksikan sebuah kenyataan dimana orang sangat berani melakukan korupsi, penipuan, penggelembungan nilai proyek, pemerasan, penyuapan, pengoplosan BBM, produksi barang bajakan, dan sebagainya.

Banyak orang yang menjadi korban, bahkan tak jarang orang mengatakan “mencari yang haram aja sulit apalagi yang halal”. Rasulullah pernah bercerita tentang seorang yang sedang dalam perjalanan panjang, rambutnya kusut, pakaiannya kotor. Ia berdoa sambil mengangkat tangan, namun Rasulullah mengatakan bagaimana doamu dapat dikabulkan jika makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal yang kau miliki didapat dari yang haram, karena sesuatu yang haram penyebab ditolaknya doa dan ibadah.

Rasulullah itu miskin dalam artian tidak mempunya harta yang berlebih. Beliau itu ternyata kaya raya, memiliki harta yang lebih, tapi walaupun begitu hidup beliau tidak kaya atau sangat sederhana.

Mengapa demikian karena beliau zuhud dengan kekayaannya. Zuhud di sini dalam artian bukan tidak boleh memiliki harta yang berlimpah, tapi hakikatnya hati tidak terkait atau cinta dengan harta itu. Jadi kita pun patut mencontoh Rasul, kita harus kaya tapi kita tidak boleh mencintai kekayaan kita itu.

Kalau kaya kita bisa bersedakah, berinfak lebih banyak dari orang yang kekayaannya sedikit, bisa berhaji, bisa buat pesantren dan lembaga pendidikan, memberi peluang kerja bagi gelandangan dan pengemis.

6. Keenam, tafaqquh fi al-din, semangat mempelajari agama. Hal ini dapat diwujudkan dengan mengkaji, mempelajari dan mengamalkan ilmu-ilmu agama. Semakin belajar ilmu agama maka hidup manusia akan terarah. Hanya dengan ilmu, amal manusia bernilai pahala.

Semakin belajar semakin cinta agama, semakin cinta Allah dan rasul-Nya, cinta ini yang akan mententramkan hatinya.

7. Ketujuh, umur yang berkah. Semakin tua semakin mulia, semakin banyak amal kebaikan, hidup yang diisi hanya untuk kebahagian lahiriah semata, hari tua akan diisi dengan kekecewaan, berangan-angan bahagia sementara tubuh semakin renta dan tidak sanggup mewujudkan angan-angan tersebut.

Hidup yang digunakan untuk mempersiapkan bekal bertemu Allah, maka semakin tua dia akan semakin bahagia, bersikap optimis. Dan tidak ada ketakutan meninggalkan dunia yang fana ini.

Bahagia dalam Islam Menurut Dalil Al-Quran

Bismillah

Bahagia dalam Islam Menurut Dalil Al-Quran

Manusia dimanapun ia berada dan kapanpun ia hidup, senantiasa mencari kebahagiaan. Tidak ada satupun manusia yang dalam hidupnya mencari kesengsaraan dan juga keterperukan, karena hal tersebut adalah hal yang sangat menyakitkan atau membuat kedukaan manusia.

Namun sering kali di atas pencarian kebahagiaan tersebut, manusia menganggap bahwa kebahagiaan sejati adalah ketika hidup di dunia. Bagi orang-orang yang tidak beriman, ia menganggap bahwa kebahagiaan dunia adalah segalanya, hidup hanya satu kali, sehingga apapun yang dilakukannya di dunia atas dasar hedonisme atau pandangan kebahagiaan duniawi. Hal ini seperti hura-hura, mencari sex bebas, kebahagiaan atas jabatan, atau hal-hal lainnya yang dianggap bahagia.

Tentu saja, dalam hal mencari kebahagiaan, islam memiliki konsep tersendiri. Islam menawarkan konsep kebahagiaan sejati, yang tidak mungkin bisa didapatkan di dunia saja. Di dunia ini bagi islam, dan memang kenyataannya sangatlah semu. Sangat mudah orang mendapatkan kedukaan, kesakitan, kebangkrutan, kehilangan, dan lain sebagainya. Untuk itu, berikut adalah konsep bahagia dalam islam, menurut dalil Al-Quran.

Kebahagiaan Sejati Menurut Islam adalah di Akhirat

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qashash : 77)

Dalam konsep islam, kebahagiaan dunia adalah semu dan fana. Sewaktu waktu manusia bisa mendapatkan kebahagiaan, sewaktu-waktu manusia juga bisa mendapatkan kedukaan. Antara susah, senang, dan rasa biasa saja (netral) silih berganti. Untuk itu, ketika manusia mencari kebahagiaan sejati di dunia hal itu mustahil ditemukan.

Seseorang yang memiliki uang banyak bisa saja membangun istana untuk dirinya. Akan tetapi, ia tidak akan bisa membangunnya sendirian, karena ia terbatas. Ia butuh mengeluarkan uang, mempekerjakan orang, bahkan juga harus berkorban.

Untuk itu, islam memberikan perintah untuk manusia agar mengoptimalkan apa yang ada di dunia untuk bekal akhirat. Hal ini tentu saja tanpa harus meninggalkan kebahagiaan yang ada di dunia. Allah mengatakan bahwa kebahagiaan dunia adalah rezeki dan kenikmatan yang harus diterima dan disyukuri oleh manusia. Akan tetapi tidak boleh melupakan sebagian dari hak-hak orang lain dan juga menjadikannya sebagai bekal pahala kelak.

Bentuk Kebahagiaan di Surga

Bentuk-bentuk kebahagiaan di surga sering kali jarang diteliti dan diperdalam oleh manusia. Bukan berarti kita berharap akan surga berlebihan, karena hanya Allah lah yang berhak untuk memasukkan kita ke surga atau tidak. Akan tetapi jika kita terus berusaha memahami mengenai kebahagiaan surga, maka akan kita rasakan bahwa surga dan dunia adalah perbandingan yang sangat jauh berbeda.

Dunia tidak akan sebanding dengan kebahagiaan yang ada di surga. Bahkan di dalam surga tidak ada sama sekal usaha sebagaimana kehidupan dunia yang penuh resiko dan konsekwensi. Berikut adalah bentuk-bentuk kebahagiaan di surga, menurut informasi Al-Quran.

Makanan dan Minuman
“”Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya” (QS Al Baqarah : 25)

Di dalam surga terdapat makanan berupa buah-buahan. Hal ini tentu akan berbeda dengan dunia yang jika ingin memakan buah, tentunya harus menunggu musim, mengeluarkan uang, atau berusaha untuk menanamnya. Hal ini berbeda dengan di surga, bahwa orang beriman penghuni surga akan mendapatkannya secara mudah dan berada bersama para pasangannya yang suci. Bahkan mereka akan kekal di dalamnya, selama dalam kehendak Allah.

Tempat Tinggal Berupa Istana
“Maha Suci (Allah) yang jika Dia menghendaki, niscaya dijadikan-Nya bagimu yang lebih baik dari yang demikian, (yaitu) surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, dan dijadikan-Nya (pula) untukmu istana-istana” (QS Al-Furqaan : 10)

Di dunia hanya para pejabat, raja, atau bangsawan saja yang dapat menikmati hidup di istana. Hal ini tidak terjadi jika manusia berada di surga. Orang-orang beriman akan diberikan istana-istana, tanpa harus memandang miskin kaya, karena di sana sudah tidak ada lagi penilaian tersebut. Tentu sungguh menakjubkan tinggal di dalamnya, karena kebaikan dan Kemaha Dahsyatan Allah yang menciptakannya sebagia bentuk kasih sayang kepada orang beriman.

Hal ini adalah sebagai bentuk kepada orang yang senantiasa mendasarkan hidupnya dari Rukun Islam, Dasar Hukum Islam, Fungsi Iman Kepada Allah SWT, Sumber Syariat Islam, dan Rukun Iman.

Perhiasan
“Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera” (QS Al Hajj : 23)

Di dunia, mendapatkan gelang-gelang emas, mutiara, pakaian yang bagus tentu membutuhkan uang, proses yang panjang, dan usaha yang keras. Namun tidak dengan kehidupan di surga, semuanya diberikan secara Cuma-Cuma tanpa harus menunggu menjadi orang yang memiliki banyak uang. Semuanya Allah berikan pada penghuni surga sebagai balasan atas kesabaran dan perjuangannya selama di dunia.

Penuh Kesyukuran dan Persaudaraan
Di dalam surga, manusia akan mendapatkan persaudaraan antar sesama penghuni surga. Penghuni di dalamnya akan merasakan persaudaraan dan kesyukuran atas segala nikmat yang Allah berikan. Kesyukuran ini adalah bentuk manusia yang sudah melaksanakan misinya di dunia sesuai dengan Tujuan Penciptaan Manusia, Proses Penciptaan Manusia , Hakikat Penciptaan Manusia , Konsep Manusia dalam Islam, dan Hakikat Manusia Menurut Islam sesuai dengan fungsi agama , Dunia Menurut Islam, Sukses Menurut Islam, Sukses Dunia Akhirat Menurut Islam, dengan Cara Sukses Menurut Islam .

Itulah kehidupan manusia yang ada di akhirat yaitu di surga. Kehidupan di surga adalah sebaik-baiknya balasan dan tempat terbaik yang bisa dicapai oleh manusia. Di dunia, tentunya manusia tidak akan bisa mendapatkan hal tersebut dan kelak Allah membalas kesabaran manusia hanya di akhirat. Tinggal pilihannya mana yang hendak kita dahulukan dan prioritaskan. Kehabahagiaan yang ada di dunia ataukah kebahagiaan yang ada di akhirat? Semoga saja kita digolongkan Allah pada golongan penghuni surga.

Hidup Bahagia Menurut Islam – Penjelasan dan Dalil-nya

Bismillah

Hidup Bahagia Menurut Islam – Penjelasan dan Dalil-nya

Fitrah manusia selalu menginginkan kehidupannya mengarah kepada kebahagiaan. Bagi orang-orang yang tidak beriman, mereka menganggap bahwa dunia adalah tempat satu-satunya untuk hidup dan harus menghabiskan waktu untuk tinggal di dunia dan mencari kebahagiaan yang sebanyak-banyaknya. Seakan-akan tidak akan pernah tinggal dan hidup lagi di dunia.

Hal ini tentu akan berbeda jika dengan orang yang beriman. Manfaat Beriman Kepada Allah SWT, Dasar Hukum Islam, Fungsi Iman Kepada Allah SWT, Sumber Syariat Islam, dan Rukun Iman selalu menjadi dasar dalam kehidupannya. Orang yang beriman akan meyakini bahwa setelah kehidupan dunia akan ada kehidupan akhirat yang kekal abadi dan menjadi balasan atas apa yang telah dilakukan di dunia.

Untuk itu, orang beriman selalu mengarahkan hidupnya dan menjalankan aktivitasnya agar mendapatkan keselamatan tidak hanya di dunia, melainkan di akhirat. Berikut adalah konsep hidup bahagia menurut islam, dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Kebahagiaan Dunia Menurut Al-Quran

Di dalam Al-quran ditunjukkan berbagai ayat yang memberikan informasi bahwa dunia ini hakiaktnya adalah kebahagiaan yang semu dan sementara. Kebahagiaan dan kehidupan di dunia hakikatnya akan sering berganti antara suka, duka dan perasaan netral atau biasa saja. Hal ini menunjukkan bahwa apapun yang kita miliki hakikatnya akan mengalami siklus duniawi. Berikut adalah ayat-ayat Allah mengenai kebahagiaan hidup di dunia, dan umat islam hendaknya tidak menjadikan dunia sebagai tujuan akhir melainkan hanya sebagai kendaraan untuk dapat mencapai kebahagiaan akhirat.

Kebahagiaan Dunia Tidak Kekal
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS : An-Nahl : 96)

Dunia dalam hidup ini tentu tidak kekal, sedangkan yang kekal adalah Allah. Balasan bagi mereka yang megusahakan dunia untuk kebaikan adalah akhirat. Sedangkan di dunia tentu penuh ujian, silih berganti dengan kedukaan, dan berbagai masalah.

Kita bisa melihat bahwa setiap hari ada saja yang meninggal, mengalami kebangkrutan, penipuan, sakit, dan lain sebagainya. Hari ini manusia bisa saja mengalami posisi yang kaya, tinggi jabatannya, namun sekali waktu hal tersebut mudah saja bagi Allah hilang dan tidak kembali kepada manusia. Untuk itu, pantaslah jika Allah tidak memperkenankan manusia menjadikan kehidupan dunia di atas segala-galanya.

Kebahagiaan Dunia Adalah Ujian
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang paling baik perbuatannya” (QS : Al Kahfi : 7)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa kebahagiaan dunia sesungguhya hanyalah ujian dan tidak kekal. Manusia yang membanggakan dirinya atas harta, jabatan, dan keturunan tidak akan berguna semua hal tersebut di akhirat jika hal tersbut dalam kehidupan di dunia tidak pernah dipotensikan untuk mencari pahala dan kebaikan.

Di akhirat kelak hanya akan dimintai pertanggungjawaban mengenai seberapa besar apa yang kita miliki tersebut memberikan kebaikan dan manfaat kepada orang lain. Bukan dari seberapa besar kekayaan atau harta yang telah dimiliki. Pahala orang miskin dan kaya bisa saja lebih besar orang miskin jika dalam hidupnya penuh kesyukuran, suka membantu sesama, dan berbuat baik atas apa yang ia miliki. Sedangkan kekayaan tidak berarti ia akan selamat di akhirat dengan kekayaan yang dimilikinya.

Kebahagiaan Dunia Silih Berganti dengan Kedukaan
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS Al Hadid : 20)

Kebahagiaan di dunia sebagaimana ayat di atas adalah seperti analogi musim panen dan kekeringan. Sewaktu-waktu manusia bisa saja mendapatkan kebahagiaan yang banyak, dan suatu waktu lagi, manusia bisa saja mendapat kedukaan atau kesedihan. Untuk itu, kebahagiaan dunia silih berganti setiap waktu. Tidak kekal dan terus menerus ada.

Kehidupan Dunia Tidak Sebanding Dengan Akhirat
Kehidupan di dunia jika dibandingkan dengan akhirat tentu saja tidak akan sama dan sebanding. Untuk itu Allah menghukum mereka yang dalam hidupnya hanya mengejar kebahagiaan dunia sesaat saja. Neraka Jahannam ditetapkan bagi mereka yang hanya mengejar kebahagiaan dunia, sedangkan tidak mengejar akhirat.  Untuk itu, cara menyelematkan kebahagiaan akhirat adalah dengan mendulang sebanyak-banyaknya amalan di dunia. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat di Al-Quran,

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir“.  (QS Al-Isra : 18)

Kehidupan Bahagia adalah Akhirat

Jikalau manusia mengingkan kebahagiaan yang kekal (menurut perhitungan dan kehendak Allah) tentu saja dunia bukanlah tempatnya, melainkan akhirat, yaitu di surga. Berkali-kali dalam ayat Al-Quran Allah menyebutkan bahwa kelak akhirat adalah tempat persinggahan terakhir manusia. Untuk itu manusia harus mempersiapkan diri dan menyiapkan amalan terbaik.

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan, “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya” (QS Al-Baqarah : 25)

Di ayat di atas dijelaskan bahwa sesungguhnya di dalam surga terdapat banyak kebahagiaan yang disampaikan kepada manusia, sebagai orang-orang yang bertaqwa. Tentu saja hal ini akan berbeda dengan kondisi di dunia, yang serba terbatas, serba realtif, dan tidak ada kebahagiaan yang diperoleh dengan pengorbanan.

Jika dilihat dari ayat-ayat tersebut, sudah jelas bahwa kehidupan bahagia menurut islam bukanlah di dunia melainkan di akhirat. Untuk itu, bagaimanapun caranya umat islam harus mengoptimalkan kehidupannya di dunia untuk mengejar akhirat. Sesungguhnya Allah sudah memberikan potensi, rezeki, dan nikmat yang sangat besar untuk manusia optimalkan menuju kehidupan akhirat. Tinggal bagaimana umat islam mengoptimalkannya dengan sekuat tenaga dan keikhlasan berjuang menggapainya.

Untuk itu, untuk mencapai akhirat, hendaknya manusia menjalankan hidupnya berdasarkan kepada Tujuan Penciptaan Manusia, Proses Penciptaan Manusia , Hakikat Penciptaan Manusia , Konsep Manusia dalam Islam, dan Hakikat Manusia Menurut Islam sesuai dengan fungsi agama , Dunia Menurut Islam, Sukses Menurut Islam, Sukses Dunia Akhirat Menurut Islam, dengan Cara Sukses Menurut Islam .

Rabu, 27 Desember 2017

Perekat Terkuat Antara Suami Dan Isteri Bukanlah Cinta, Tapi Agama

Bismillah

Perekat Terkuat Antara Suami Dan Isteri Bukanlah Cinta, Tapi Agama

Oleh karenanya, seringkali kita melihat cinta suami kepada isteri atau sebaliknya justru semakin besar dan memuncak, ketika keduanya membangun rumah tangganya dengan pondasi agama.

Oleh karenanya, seringkali kita melihat cinta suami kepada isteri atau sebaliknya justru semakin besar dan memuncak, ketika keduanya membangun rumah tangganya dengan pondasi agama.

Oleh karena itulah, Nabi shollallohu alaihi wasallam mewasiatkan kepada kita untuk mementingkan faktor ini, yaitu dalam sabda beliau:

فاظفر بذات الدين تربت يداك

“Dapatkanlah isteri yg memiliki agama (yang baik); niscaya kamu akan beruntung” (Muttafaqun alaih; Shahih Bukhori: 5090, Shahih Muslim: 1466).

Bahkan Sahabat Umar bin Khottob –rodhiallohu anhu– saat menjadi khalifah pernah ditanya seorang perempuan:

يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ نَشَدَنِي فَتَحَرَّجْتُ أَنْ أَكْذِبَ، فأكذب يا أمير المؤمنين؟ قال: نعم فاكذبنا، وَإِنْ كَانَتْ إِحْدَاكُنّ لَا تُحِبُّ أَحَدَنَا فَلَا تُحَدِّثْهُ بِذَلِكَ فَإِنَّهُ أَقَلُّ الْبُيُوتِ الَّذِي بُنِيَ عَلَى الْحُبِّ، وَلَكِنَّ النَّاسَ يَتَعَاشَرُونَ بِالْإِسْلَامِ وَالْأَنْسَابِ وَالْإِحْسَانِ


“Wahai Amirul Mukminin, suamiku telah menyumpahku agar aku tidak berbohong, sehingga aku merasa bersalah jika berbohong, apakah aku masih boleh berbohong wahai Amirul Mukminin?”

Maka sahabat Umar pun menjawab: “Ya, silahkan berbohong kepada kita (sebagai suami), jika salah seorang dari kalian (para istri) tidak suka kepada seseorang dari kami, maka jangan katakan itu kepadanya!

Karena, rumah tangga yang dibangun di atas rasa cinta itu sangat sedikit. Namun manusia biasanya menjalin hubungan itu karena Islam, hubungan nasab, dan jiwa sosial” (Al Ma’rifah wat Tarikh, 1/392).

Dan hendaklah kita selalu ingat sabda Nabi –shollallohu alaihi wasallam-:

لا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (isterinya), karena jika dia membenci salah satu perangainya, dia pasti masih suka perangainya yang lainnya” (HR. Muslim no. 1469).

Ternyata, faktor agama ini tidak hanya berguna untuk akherat, tapi juga sangat berguna untuk menguatkan rajutan cinta yang indah bagi keduanya selama di dunia, wallohu a’lam.

Anak bisa jadi pembatal orang tua masuk surga

Anak bisa jadi pembatal orang tua masuk surga

Ada seorang anak, yang dimasa kecilnya begitu lucu, menggemaskan, rajin, pintar, dan cerdas, serta hal-hal baik lainnya melekat ada pada diri anak tersebut. Pendidikan parenting yang diperolehnya di masa kecil begitu baik. Di sekolah prestasinya juga menonjol.

Sayangnya, saat ia beranjak remaja kondisi tersebut pelan-pelan berubah, sifat buruknya lebih dominan dari sifat baiknya. Sang anak menjadi pribadi yang berani menentang hukum-hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia mengusung nilai-nilai liberalisme yang menghendaki kebebasan individu dalam segala bidang, sehingga kehidupannya pun jauh dari nilai-nilai agama. Demikian berlanjut terus ke perjalanan hidupnya di masa tuanya.
Mengapa kondisi akhirnya bisa seperti itu?

Apakah resikonya kelak di akhirat hanya ditanggung sendiri oleh anak?

Mari kita bahas.

Mungkin Anda pernah mendengar cerita tentang orangtua yang sudah divonis masuk surga, tetapi kemudian dibatalkan dalam pengadilan akhirat hingga akhirnya dia masuk neraka bersama anaknya. Itu terjadi karena anaknya menggugat orangtuanya yang tidak pernah memperhatikan agamanya sewaktu di dunia, sementara orangtua sibuk dengan urusan ibadahnya atau dunianya sendiri.
Sebagai pengantar jurnal, dan mengenang gaya tausiyah yang kocak dari alm. KH. Zainuddin MZ, berikut ini saya cuplikkan tausiyah beliau mengenai hal ini.

Sampai sekarang saya tidak tahu apakah cerita tersebut derajatnya shahih ataukah tidak? Karena saya belum pernah menemukannya pada hadist Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, yang jelas makna yang terkandung di dalamnya sama sekali tidak bertentangan dengan makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur`an dan hadits-hadits shahih. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”

[QS At-Tahriim: 6]

Tentang ayat ini dalam kitab tafsir Ath-Thabari, Qatadah berkata: “Perintahkan mereka untuk taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan laranglah mereka dari perbuatan maksiat kepada-Nya. Bantulah mereka untuk mengerjakan perintah Allah. Apabila kamu melihat mereka melakukan kemaksiatan, maka tegurlah!”

Ibnu Jarir berkata: “Kita wajib untuk mengajarkan anak-anak kita tentang agama Islam, kebaikan dan adab!”

Sedangkan Ibnu Umar berkata: “Didiklah anakmu, karena kelak kamu akan ditanya tentang pendidikan dan pengajaran seperti apa yang telah kamu berikan kepada anakmu. Anakmu juga akan ditanya tentang bagaimana dia berbakti dan berlaku taat kepadamu.”

Dari penjelasan para mufassir tersebut, dapat dipahami bahwa ayat ke-6 dari QS At-Tahriim itu merupakan sebuah perintah tegas kepada seorang Muslim untuk menjaga keluarganya dari siksa api neraka, yaitu dengan cara memperhatikan pendidikan agama mereka dan selalu memperhatikan tindak-tanduk mereka. Namanya kewajiban, maka bila perintah tersebut tidak dipatuhi dengan baik oleh seorang Muslim, tentu ada konsekuensi yang akan dia dapatkan di akhirat nanti.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan dia akan dimintai pertanggung-jawaban atas apa yang dipimpinnya.”

[HR Bukhari dan Muslim]

Hadits ini juga mengisyaratkan bahwa bila seorang Muslim tidak mendidik anaknya dengan baik, maka kelak dia akan dimintai pertanggung-jawaban atas tugasnya di dunia itu, dan tentunya ada konsekuensi yang akan dia dapatkan.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mengangkat derajat seorang hamba yang shaleh di surga. Kelak ia akan berkata, ’’Wahai Rabbku, bagaimana hal ini bisa terjadi padaku?” Dijawab-Nya, “karena permohonan ampunan anakmu untukmu.”

[HR Ibnu Majah dan Ahmad, dan dishahihkan Ibn Katsir]

Bila seorang hamba mendapatkan hasil yang baik (di akhirat) karena dia telah mendidik anaknya dengan baik sehingga menjadi anak shaleh yang berdo’a memohonkan ampunan untuknya (hanya do’a anak shaleh yang diterima, saat pintu amal terputus, saat di alam barzah); maka dapat dipahami secara mafhum mukhalafah (pengertian terbalik), bahwa seorang hamba juga akan mendapatkan hasil yang tidak baik (di akhirat) karena lalai dalam memperhatikan dan mendidik anaknya.

Jadi, hati-hati bahwa anak bisa menjadi pembatal orangtua masuk surga.
Secara umum, Parenting adalah upaya terbaik yang ditempuh oleh orangtua dalam mendidik anak dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia dalam keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Untuk masa anak-anak, pendidikan parenting lebih ditekankan pada proses interaksi berkelanjutan antara orangtua dan anak yang meliputi aktivitas-aktivitas seperti: memberi makan (nourishing), memberi petunjuk (guiding), dan melindungi (protecting) anak-anak ketika mereka tumbuh berkembang.

Sedangkan parenting untuk usia remaja sebaiknya lebih ditekankan pada proses interaksi berkelanjutan yang meliputi aktivitas-aktivitas seperti: membekali dengan ilmu yang bermanfaat (enlightening), memberi petunjuk dan nasehat (coaching + counseling), dan melindungi (protecting) anak-anak dari serbuan perang pemikiran atau perang akidah. Ada sebuah petuah bijak:

“You will be the same person in five years as you are today except for the people you meet and the books you read.”

[Charlie “Tremendous” Jones]

Dengan demikian, orangtua seharusnya tidak lalai memperhatikan kualitas pergaulan anaknya, juga peduli dengan buku-buku bacaan anaknya. Tidak dengan kekuatiran yang berlebihan, namun bersama-sama belajar mengelolanya, agar tidak tumbuh benih-benih kebencian dalam kehidupan sosial yang majemuk.
Sungguh, betapa tidak akan ada artinya ketika anak telah berhasil meraih berbagai prestasi yang membanggakan, namun pondasi dasarnya rapuh. Hal ini bisa menjadi bom waktu bagi anak di usia dewasanya kelak, yang juga berdampak pada orangtuanya.

Lihatlah berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang banyak merugikan negara.

Lihatlah penjara-penjara kriminal banyak diisi oleh para terdidik.

Lihatlah kasus perzinaan, perselingkuhan, dan perilaku seksual menyimpang.

Lihatlah kasus anak tidak dianggap lagi oleh orangtuanya karena akidahnya telah digadaikan (murtad).

Lihatlah episode kehidupan dimana ada anak yang terbelenggu kesibukan duniawi tidak lagi peduli dengan orangtuanya yang telah berusia senja.

Lihatlah kasus mereka yang terperosok mengikuti aliran sesat, yang selain menggerogoti iman juga merongrong finansial serta merusak keutuhan keluarga.

Padahal, semuanya tampak baik-baik saja pada awalnya. Namun nyatanya, “life begin at 40″ diisi dengan gundah gulana, tiada kedamaian hati.
Sebelum semuanya terlambat, pandanglah anak-anak kita hari ini.

Sudahkah kita memperlakukan anak kita dengan baik?

Sudahkah kita menginvestasikan waktu yang berkualitas bersama mereka?

Sudahkah kita mengetahui harapan-harapannya?

… impiannya?

… keinginannya?

yang semuanya dibarengi dengan bekal ilmu yang bermanfaat dari orangtuanya?

Mari susun game plan pertanggung-jawaban terhadap titipan yang telah diamanahkanNya kepada kita.

Di dunia luar, anak diberikan pendidikan teknis (akademis) untuk masa depannya yang gemilang. Di dalam rumah, diimbangi dengan pendidikan karakter dari orangtuanya, karena itu telah menjadi kewajiban atas perintahNya. Anak-anak muslimin yang tidak berkarakter adalah mangsa empuk racun pemikiran.
Wallaahu a’lam bish-showab
Salam hangat tetap semangat,

Senin, 11 Desember 2017

Rasa Malu Kepada Allah SWT

Bismillah

Rasa Malu Kepada Allah SWT

"Seringkah orang yang berma'rifat itu merasa malu memo¬hon keperluannya kepada Allah, karena telah puas meng¬ikuti kehendak Allah, dan betapa ia tidak merasa malu me nyampaikan keperluannya kepada sesama makhluk?".

Perasaan yang telah menimbulkan suatu keengganan untuk melakukan sesuatu yang tercela di dalam Agama itu adalal sifat Malu.

Malu itu adalah sebagai sopan-santun yang harus diamal kan oleh seorang hamba, sebab malu adalah termasuk suati adab yang harus dimiliki oleh hamba kepada Allah Rabbul 'Ala min. Merasa suatu kebiasaan yang kurang utama bagi ahli ma' rifat itu adalah malu di dalam meminta kepada Allah SWT. bukan karena takut akan dimurkai. Juga bukan karena ... kecukupan, ataupun merasa telah kaya, akan tetapi ... Seseorang yang telah mencapai pada tingkat ketinggian ... dalam ma'rifatnya juga telah sempurna, telah meyakini bahwa apa yang ada di tangannya itu adalah merupakan suatu pemberian dari Allah SWT., serta apa yang sedang direncanakan oleh Allah SWT. dan yang akan ditetapkan Allah baginya, itu telah merasa sudah puas, di samping itu ia tidak mengharap belas kasih manusia, meskipun ia sangat membutuhkannya, Orang semacam tersebut di atas adalah orang yang totali mempunyai sifat Iffah (satria), tidak menanti atau mengharui kan secara terus-menerus uluran tangan dari manusia yang lain nya. Berhubungan dengan sifat tersebut di atas, telah di terang kan di dalam Al-Qur'anul Karim di dalam surat Al~Baqaialt ayat 273, yang artinya adalah sebagai berikut :

"Orang lain yang tidak tahu, telah mengira mereka itu orang yang kaya, karena bersifat Iffah. Engkau (Muham mad)mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak mau minta kepada orang secara memaksa. Dan apa saja ... yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui".

Meskipun permintaan itu banyak ataupun sedikit seorang ahli di dalam Ma'rifat, tidak akan meminta segala keperluannya kecuali hanya minta kepada Allah Subhanahu Wa Ta'alah

Agama Islam benar-benar telah mengingatkan kepada seluruh ummatnya, supaya memperhatikan dengan sungguh sungguh akan rasa malu, sebab rasa malu itu adalah termasuk sebagian dari iman, di samping itu juga rasa malu itu dapat menjadi sebab terbentuknya akhlak mulia, dan jika seseorang itu telah kehilangan akan rasa malunya berarti telah rusak akhlaknya.

Dalam hal malu ini Rasulullah saw. telah bersabda yang bunyi:

Artinya : "Sesungguhnya semua Agama itu mempunyai akhlak, dan akhlak Islam itu perangai malu". (HR. Imam Malik).

Seseorang yang masih memiliki rasa malu, apabila telah melakukan suatu perbuatan yang tidak patut baginya, maka nampak di wajahnya menjadi pucat pasi, itu pertanda sebab perwujudan penyesalannya telah terlanjur melakukan perbuatan yang tidak wajar, dengan begitu berarti menunjukkan bahwa hati kecilnya telah hidup, dan batinnya suci juga bersih dari kemaksiatan atau kotoran.

Akan tetapi sebaliknya, jika orang tersebut sudah tidak mempunyai rasa malu, seenaknya saja dia melakukan perbuatan yang tidak patut menurut Agama, meskipun banyak orang yang mengetahuinya, dan terkadang benar-benar melanggar kesopanan serta melanggar aturan Agama.

Rasulullah saw. adalah seorang yang sangat tinggi perilakunya, seorang yang paling mulia akhlaknya, seorang ya tinggi di dalam ketaatannya kepada segala perintah Allah SWT kepada segala tugas kewajiban kemasyarakatannya, dan terhadap sesuatu yang menjadi larangan Allah SWT. menahan dirinya.

Suatu ikatan yang tidak dapat dipisahkan dari dalam agama itu adalah rasa malu, sebab antara Iman dan malu Itu adalah merupakan satu ikatan yang sangat utuh, dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang berbunyi :

Artinya : "Rasa malu dan iman sebenarnya berpadu menjadi satu, maka bilamana telah lenyap salah satu, hilang pulalah yang lain". (HR. Al-Hakim).

Sebagai gambaran yang sangat bagus sekali,, yang telah di¬sampaikan oleh Rasulullah saw. di dalam hal proses keruntuhan jiwa manusia, yang mana dimulai dari hilangnya rasa malu, sehingga jatuh kepada suatu perangai yang paling buruk sekali.

Sebenarnya sudah menjadi fitrah dari kejadian manusia itu sendiri, bahwa manusia itu diberi akal yang paling sempurna, apabila hilang darinya rasa malu, maka ia akan berubah menja¬di ganas bahkan lebih ganas dari hewan yang sama sekali tidak mempunyai akal.

Manusia yang sudah tidak lagi memperdulikan adanya aturan dan juga kesopanan yang berlaku di dalam masyarakat, dia telah menjadi liar, rakus dan kurang ajar, karena manusia tersebut sudah hilang rasa malunya, sehingga berbuat semau- nya sendiri.

Setiap orang muslim dituntut untuk memiliki sifat malu di dalam hal berbicara, malu berbicara keji juga kotor, malu mencela sesuatu dan malu membicarakan cela orang lain yang dapat membuat seseorang mendapat malu.

Rasulullah saw. bersabda yang artinya adalah : "Malu itu sebagian daripada iman, dan iman itu dalam surga. Kotor mulut itu dari kekotoran tabiat, dan kekotoran tabiat itu dalam neraka". (HR. Ahtnad).

Sumber utama dari kebaikan itu adalah rasa malu, serta unsur kemuliaan di dalam setiap pekerjaan, sebagaimana sesuai sekali dengan sabda Nabi Muhammad yang artinya adalah :'
Hadits yang diriwayatkan oleh Turmidzi : "Kekejian mulut tiada menghinggapi sesuatu melainka menjelekkannya, dan sifat malu itu tidak menghinggapi si suatu melainkan membaguskannya".
Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani :
"Apabila sifat malu itu diumpamakan menjadi seorang lak laki, maka ia sebagai seorang laki-laki yang sholeh, dan ap? bila sifat kekejian itu diumpamakan seorang laki-laki, maka ia sebagai seorang laki-laki yang jahat".

Dari sabda-sabda Rasulullah saw. tersebut di atas telah menjadi jelaslah sudah bahwa sifat malu itu adalah merupakan suatu lambang kehormatan dari seseorang, jika rasa malu iti telah hilang maka hilang pula kehormatan seseorang tersebul berdasarkan kepada gambaran dari Rasulullah saw. yaitu:

Artinya : "Mempunyai rasa malu, seluruhnya jadi baik". (HR. Bnkha ri - Muslim).


Malu kepada Allah Lebih Diutaman dari Malu kepada Orang Lain

Bismillah

Malu kepada Allah Lebih Diutaman dari Malu kepada Orang Lain

Salah satu sifat yang mesti dimiliki oleh setiap muslim adalah malu, yakni malu bila melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Hal ini karena, bila kita dan anggota masyarakat lainnya telah memiliki rasa malu seperti ini, maka tidak akan ada penyimpangan yang dilakukan, termasuk terhadap ketentuan baik yang telah disepakati sesama manusia. Begitu penting sifat malu sehingga hal ini menjadi salah satu cabang yang tidak bisa dipisahkan dengan iman. Ini berarti keimanan seseorang perlu kita pertanyakan apabila pada dirinya tidak ada perasaan malu. Rasulullah Saw bersabda: Malu itu cabang dari iman” (HR. Bukhari).

TIGA BENTUK MALU

Dalam kehidupan manusia, paling tidak malu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang saling berkaitan. Pertama, malu kepada diri sendiri, yakni malu kepada martabat pribadi dengan segala kedudukan, gelar atau sebutan yang kita sandang, sebagai apapun kita. Kalau kita disebut muslim, itu berarti kita seharusnya menjadi orang yang tunduk dan patuh kepada Allah Swt dengan segala ketentuan-Nya dan kita sangat malu bila tidak bisa tunduk kepada Allah. Bila kita disebut suami, tentu seharusnya kita malu manakala melakukan hubungan seksual dengan wanita yang bukan isteri kita. Bila kita disebut bapak, seharusnya kita punya perasaan malu bila tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi anak-anak kita. Bila kita menjadi pejabat atau pemimpin, maka kita malu bila tidak bisa memberi pelayanan yang terbaik kepada orang yang kita pimpin, bahkan bila kita diberi amanat, maka kita akan sangat malu bila mengkhianatinya, begitulah seterusnya. Dengan kata lain, bila kita memiliki rasa malu terhadap diri kita sendiri, maka kita akan selalu menjaga nama baik atau citra diri sehingga kita tidak akan merusaknya. Karena itu, orang yang tidak memiliki rasa malu terhadap dirinya sendiri harus diwaspadai, sebab kalau ia telah merusak citra dirinya sendiri, sangat mungkin baginya untuk merusak citra orang lain, citra organisasi, bahkan citra negara .

Malu pada diri sendiri sangat mendasar, karena meski orang lain tidak tahu bila penyimpangan dilakukannya, ia justeru menjadi saksi atas dirinya sendiri terhadap penyimpangan yang dilakukan, bahkan siap membeberkan kesalahan itu dihadapan Allah Swt sebagaimana terdapat dalam firman-Nya: Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan (QS 36:65).

Kedua, malu kepada orang lain, yakni malu bila kesalahan yang dilakukan diketahui oleh orang lain, karenanya daripada kesalahan atau dosa yang dilakukan diketahui oleh orang lain, ia merasa lebih baik tidak melakukannya. Bukan malah ia lakukan dosa tapi ia menjadi malu bila hal itu diketahui oleh orang lain lalu berusaha menyembunyikan kesalahannya itu dengan berbagai cara meskipun dengan melakukan kesalahan-kesalahan berikutnya, ini merupakan sesuatu sangat berbahaya. Orang seperti ini akan mengalami kegelisahan jiwa sehingga hal ini akan membawa pengaruh yang negatif bila seseorang menjalani kehidupan dalam kondisi jiwa yang gelisah. Suami dan bapak yang gelisah tentu sangat berbahaya bagi keluarganya, apalagi bila anggota legislatif dan pemimpin yang gelisah, maka hal itu akan mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya. Rasulullah Saw bersabda: Dosa adalah sesuatu yang menggelisahkan hati seseorang, ia tidak setuju bila hal itu diketahui oleh orang lain (HR. Ahmad).

Disamping itu, seseorang yang malu atas dosa yang dilakukannya tapi tetap berbuat dosa adalah membahayakan orang lain, ia tidak segan-segan membunuh orang yang membongkar aibnya itu dan dalam kehidupan berjamaah bisa jadi ia akan menyingkirkan orang-orang yang memiliki idealisme.

Bentuk malu yang Ketiga adalah malu kepada Allah Swt, yakni malu karena ia sudah mengakui Allah Swt sebagai Tuhannya, tapi berani melanggar ketentuan Allah dengan anggapan Allah tidak mengetahuinya, padahal sebenarnya Allah Swt Maha Tahu terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia, Allah berfirman: Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu prasangkamu yang telah kamu duga terhadap Tuhanmu. Prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi (QS 41:22-23).

Untuk itulah, setiap muslim harus memiliki sifat malu kepada Allah yang sebenar-benarnya, malu yang ditunjukkan dimana saja, kapan saja dan dalam situasi serta kondisi yang bagaimanapun juga, bukan hanya malu untuk menyimpang ketika berada di masjid dan sejenisnya, tapi seseorang tidak malu-malu untuk melakukan penyimpangan di pasar, di kantor dan sebagainya, Rasulullah Saw bersabda: Malulah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar malu (HR. Tirmidzi).

JANGAN MEMALUKAN

Orang yang memiliki sifat malu tentu tidak akan bersikap dan bertindak yang memalukan, baik memalukan dirinya, keluarganya, jamaahnya hingga bangsanya. Sikap dan tindakan yang memalukan adalah bila bertentangan dengan nilai-nilai idealisme yang selama ini justeru diperjuangan. Ketika “Bersih dan Peduli” menjadi semboyan perjuangan untuk memperoleh kursi dan kekuasaan, lalu hal itu sudah diperoleh tapi ternyata tidak bersih dan tidak peduli terhadap kepentingan dakwah dalam arti yang luas yakni tegaknya nilai-nilai kebenaran Islami, maka hal ini menjadi akan sangat memalukan, bahkan menjadi beban sejarah yang amat berat untuk dipikul serta menjadi trauma dalam upaya menegakkan nilai-nilai kebersihan dan kepedulian itu.

Bila kita masih memiliki sifat malu tentu kita tidak akan melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan bila terlanjur salah, maka orang yang malu akan mau mengakui kesalahan itu dan menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah sesuai dengan tingkat kesalahan, bukan malah melindungi, menutup-nutupi apalagi bersekongkol dalam kesalahan. Namun bila rasa malu ini sudah tidak lagi dimiliki oleh manusia, ia bisa melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya, dalam satu hadits yang berasal dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshari Al Badri dinyatakan: Sesungguhnya sebagian dari apa yang telah dikenal orang dari ungkapan kenabian yang pertama adalah: Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendak hatimu (HR. Bukhari).

Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk selalu memperkokoh rasa malu, karena tidak ada kejelekan sedikitpun dari sifat malu ini sehingga Rasulullah Saw bersabda: Malu itu seluruhnya baik (HR. Bukhari dan Muslim).

Akhirnya, menjadi penting bagi kita untuk terus memantapkan rasa malu dalam kehidupan kita sebagai seorang muslim sehingga aktivitas kita selalu mengarah pada kebaikan dan memberi manfaat yang besar bagi orang lain.

Hari inikah?

Bismillah

Hari inikah?

Keluarga 'Imran ('Āli `Imrān):145 - Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

BEREMPATILAH PADA ISTRIMU

Assalamualaikum warohMatullahi wawabarokatwabarokatuh..

Masyaa Allah
Kekel baca ini
Semoga sahabat sholihah yg sudah bergelar istri, para suami nya ringan hatinya tuk membantu meringankan pekerjaan istri nya di rumah aamiiin..
#copas

BEREMPATILAH PADA ISTRIMU

Boro-boro mau nyuci piring, mau naro di bak cuci piring aja udah sukur."
Kata si ibu di sela kegiatan mencuci piringnya, membicarakan suaminya.

"Mah, kopi mah."
Kata seorang papah sedang memerintah istrinya.

Brasa pengen bilang hellaaawwwww ini rumah tangga.. bos, bukan rumah makan padang.
Jangan bilang saya menyudutkan pihak laki-laki ya. Tapi yang jamak terjadi seperti ini kan?

Adalah merupakan sebuah kekeliruan kalo kalian bilang, melakukan pekerjaan domestik adalah kodrat kami sebagai perempuan.
Baiklah mari kita telaah dan cermati dengan seksama apakah itu kodrat?

Kodrat adalah sesuatu yang sifatnya tidak bisa dirubah, karena merupakan pemberian dari Allah. Seperti : perempuan melahirkan, perempuan mampu menyusui.

Pekerjaan domestik seperti mencuci piring, mencuci baju menyapu, ngresiki sawang spiderman, masak, itu semua tidak butuh label : pekerjaan laki-laki atau pekerjaan perempuan.
Yang jamak dan seolah biasa saja terjadi itu bukan kodrat, bukan takdir. Tapi gender.

Apa sih gender?
Gender adalah pembagian peran kedudukan, dan tugas antara laki-laki dan perempuan ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas sesuai norma-norma, adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan masyarakat.

Ibu identik dengan sapu, gombal, suthil, keberantakan rumah, kerapian rumah, nyebokin anak, mandiin anak dan sebagainya.

Masih kah kau ingat sayang?
Buku pelajaran SD : Ibu memasak dan ayah membaca koran. Jika situasi ini terjadi di era modern, kejadiaannya akan : ibu memasak, ayah main gadget.

Ibu mengerjakan semua pekerjaan rumah dan ayah ongkang ongkang sikil itu sungguh pemikiram jadoel sekali. Kuno.

Heloooww pak, iki rongewupitulas, wis ora jamane wong lanang klekaran sing wadon umek neng dapuran.
Adat apa yg hendak dilestarikan disini?
Kebiasaan baik apa yang bisa dipelihara dari ini ?

Suatu hari dalam perjalanan pulang dari Jogja ke Madiun, saya duduk bersebelahan dengan bapak-bapak berusia sekitar 60tahunan, sampailah pada cerita tentang kebiasaan rumah.

"Saya gak pernah mbak, nyuruh-nyuruh istri saya mengambilkan makan disediakan di meja makan gitu gak pernah. Kalau memang istri saya lupa dan masih ada di panci diatas kompor, ya saya ambil sendiri."

Beliau melanjutkan
"Kalau malam, saya lihat cucian di dapur masih menumpuk, ya saya cuci. Saya belajar dari bapak mertua saya.

Ah. Hati saya gerimis mendengarnya. Belajar dari bapak mertua. Kebiasaan baik menular jika Allah lembutkan hati seseorang ya, Bu?
Bapak ini gak kongkonan, gak ladenan.

Bukan tentang ketidakikhlasan saya menulis ini, tentang kepekaan dan empati Pak.
Jika bapak tau, siklus awal mula istri anda mbesengut dan mecucu itu adalah :
Semua pekerjaan domestik meliputi nyapu, nyuci piring, nyuci baju, membereskan rumah, memasak, memandikan anak, membereskan tempat tidur, bahkan menyiapkan makan untukmu, dia lakukan sendiri

Bapak pulang kerja, masih aja kadang ada yang gak sesuai dengan pertanyaan 'anak-anak kok belum mandi?', 'rumah kok berantakan?', 'sayur opo iki, lodeh kok koyo ngene' rasa hati ingin membalang sutil tapi ah sudahlah. Ibu mecucu

Peka-lah pak, berempati-lah pak pada istrimu. Pujilah dia agar mengembang hatinya. Gak usah ditabur baking soda merk Koepoe dan didiamkan bertutupkan gombal. Pasti mengembang hatinya, pak..

Pekalah ketika istrimu kerepotan, ulurkan tangan, tanyalah
"Apa yang perlu dibantu sayang?
Perlu tak tumbaskan logam mulia 10 gram?"

Jika diminta tolong menjaga anak, disaat sang istri melakukan hal lain, lakukan dengan sungguh-sungguh pak, ojo mbok sambi main hape ngko anakmu ngglundung bojomu muring-muring.
Jika memang mau minta tolong, gunakan kata 'tolong' dan setelahnya 'terimakasih'.
Contoh, "Sayang, tolong kamu rajin shopping ya, ini duitnya, terimakasih"

Jika terdengar olehmu alunan sutil dan wajan mulai tidak wajar dan tidak ada harmonisasi didalamnya, artinya bojomu uwis kesel masak. Glontangan panci dan wajan itu menunjukkan amarah terpendam pak. Datangi istrimu, peluk dari belakang dan katakan,
"Sayang, kamu kalo lagi masak gini keliatan kaya parah kuin sayang.. "

Gombal ya? Percayalah. Wanita suka digombali. Meskipun dari lambenya terucap kata,
"Alaaah.. Gombal!", sambil mencap mencep.
Tapi hatinya geli geli sumringah mendengarnya pak.
Opo lho pak angele muni "Ya Allah, bojo kok ayumen ngene to deek dekk" karo dijawil jawil pipine. Gawean modal lambe tok wae lho.

Di lain waktu saat saya pangkas rambut. Bukan di misbar lho ya. Alias tukang cukur gerimis bubar yang biasanya mangkal di bawah pohon.

Disela potong memotong rambut, si ibu bercerita, apa saya yang kepo yak, wakakaak~
Tentang ketidaktegaannya, melihat anak laki-lakinya yang sudah berkeluarga, pulang kerja capek-capek masih membantu istri mencuci popok bayi 3 bulannya.

"Saya gak tega mbak lihat anak saya, owalah sebelum nikah aja bajunya saya yang cucikan, udah nikah harus cuci popok anaknya, belum kalau malam gendong anaknya gantian sama istrinya. Jadi ya saya yang gantian gendong sama istrinya"

Ah bu....
Bagaimana jika anak perempuanmu yang harus melakukan itu sendirian bu. Tegakah kamu bu?
Tegakah kamu bu, jika melihat anak perempuanmu bersusah payah mengurus rumahtangganya sendirian tanpa bantuan dari menantumu bu?
Akan kau cap apa menantumu?
Ataukah akan tetap kau bela karena memang bukan kewajibannya dan tugasnya sebagai laki-laki mengurus rumahtangga seperti pemikiranmu?

Berumahtangga itu untuk saling kan?
Saling menyayangi, saling mengasihi, saling mencintai, saling membantu meringankan beban di pundak, saling membantu meringankan pekerjaan rumah.

Ini lho yang dibilang relationship goal sesungguhnya.
Bukan kaya anak-anak muda di instagram liat pasangan dikasi bunga, relationship goal. Liat pasangan ciuman di hutan pinus, relationship goal. Liat pasangan berlibur keluar negeri, relationship goal.
HALAH HALAAAAHH. Relationship goal opoh.

The true relationship goal adalah saat kita berumahtangga, membentuk peradaban yang lebih baik, memutus mata rantai yang buruk dari pola asuh orangtua kita terdahulu, mencontoh dan mengadaptasi sisi positif dari gaya pengasuhan orangtua kita terdahulu, menjadikan anak-anak kita siap sebelum kita antarkan ke jenjang pernikahan dan membentuk peradabannya sendiri.

Kamu Bu, yang memiliki anak perempuan, akan berterimakasih kepada besanmu yang telah mengajarkan hal-hal baik kepada mantumu.

Kamu Pak, yang memiliki anak laki-laki akan bangga telah menjadi contoh yang baik bagaimana berumahtangga seharusnya, mantumu akan sangat berterimakasih padamu.

Bukan warisan melimpah yang bangga kalian berikan, tapi ilmu dan ajaran yang kalian kira sepele ini, inshaAllah akan menjadi amal jariyah kalian pak, bu..

Tidak akan hina kehormatanmu dan jatuh harga dirimu, hanya karena meringankan pekerjaan istri tercintamu..

Salam hormat kepada bapak-bapak yang telah tidak segan dan enggan mengerjakan pekerjaan rumahtangganya.

Tentang siksa kubur..

MUTIARA HADITS

Tentang siksa kubur..

dari Ibnu 'Abbas berkata:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lewat di dekat dua kuburan, lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak bersuci setelah kencing, sementara yang satunya suka mengadu domba." Kemudian beliau mengambil sebatang dahan kurma yang masih basah, beliau lalu membelahnya menjadi dua bagian kemudian menancapkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat pun bertanya, "Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan ini?" beliau menjawab: "Semoga siksa keduanya diringankan selama batang pohon ini basah." (HR. Bukhari: 211) -

Sdr ku.. cucilah kemaluan saat kencing dan hindari mengadu domba..sebab keduanya penyebab seseorang diazab kubur..

Minggu, 10 Desember 2017

BEBERAPA KEBIASAAN YANG PERLU DIHINDARI BERKAITAN DENGAN DZIKIR SESUDAH SHOLAT:

🚫⛔🔐 BEBERAPA KEBIASAAN YANG PERLU DIHINDARI BERKAITAN DENGAN DZIKIR SESUDAH SHOLAT:

Beberapa hal yang biasa dilakukan oleh banyak orang setelah sholat fardhu (wajib) yang lima waktu tapi tidak ada contoh dan dalil dari Rosululloh  dan para sahabatnya.

Diantara kebiasaan yang salah tersebut ialah:

⛔ 1. Mengusapkan kedua tangan ke wajah/muka sesudah salam, karena kebiasaan ini sama sekali tidak berdasar pada dalil yang shohih.

⛔ 2. Berdo’a dan berdzikir secara berjamaah yang dipimpin oleh imam sholat.

⛔3. Berdzikir dengan bacaan yang tidak ada nash/dalilnya, baik lafazh maupun bilangannya, atau berdzikir dengan dasar hadits yang dha’if(lemah) atau maudhu’ (palsu).

Contoh:

➡1. Sesudah sholat membaca: “Alhamdulillaah”

➡2. Membaca surat al-Faatihah setelah salam.

➡3. Membaca beberapa ayat terakhir surat al-Hasyr dan lainnya.

➡4. Menghitung dzikir dengan memakai biji-bijian tasbih atau yang serupa dengannya. Tidak ada satupun hadits yang shahih tentang menghitung dzikir dengan biji-bijian tasbih, bahkan sebagiannya maudhu’ (palsu). Syaikh al-Albani mengatakan: “Berdzikir dengan biji-bijian tasbih adalah bid’ah.”

🚫 Syaikh Bakr Abu Zaid mengatakan bahwa berdzikir dengan menggunakan biji-bijian tasbih menyerupai orang-orang Yahudi, Nasrani, Budha, dan perbuatan ini adalah bid’ah. Yang disunnahkan dalam berdzikir adalah dengan menggunakan jari-jari tangan:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلُ اللهِ يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَمِيْنِهِ

“Dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah  menghitung bacaan tasbih (dengan jari-jari) tangan kanannya.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

✳ Bahkan, Nabi memerintahkan para sahabat menghitung; Subhaanallaah, alhamdulillah, dan mensucikan Allah dengan jari-jari, karena jari-jari akan ditanya dan diminta untuk berbicara (pada hari kiamat) (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

➡5. Berdzikir dengan suara keras, karena bertentangan dengan dalil-dalil al-Qur’an yang menyuruh kita untuk berdzikir dengan suara pelan. Firman Allah dalam Qs. Al A’raaf Ayat 55;

ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِي

“Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [Qs. Al-A’raaf 55]

Dan Qs. Al A’raaf Ayat 205

وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ

وَلاَ تَكُن مِّنَ الْغَافِلِي

“Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” [Qs. Al-A’raaf 205]

Nabi  melarang berdzikir dengan suara keras sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain. Imam Syafi’i menganjurkan agar imam atau makmum tidak mengeraskan bacaan dzikir.

➡6. Bersalam-salaman/berjabatan tangan antar jamaah sesudah salam, sebelum dzikir. Tidak ada contoh dari Nabi dan para sahabatnya yang bersalam-salaman sesudah salam dalam shalat. Bersalaman yang dicontohkan adalah pada saat awal bertemu dan saat akan berpisah. Selain itu kebiasaan bersalam-salaman sesudah salam akan mengganggu kekhusu’an dzikir yang disyari’atkan untuk dilaksanakan tanpa ada jeda waktu sesudah salam. Apalagi dzikir sesudah sholat fardhu memiliki keutamaan yang tinggi.

Semoga kita bisa mengambil pelajaran yang terbaik dari ajaran Islam yang hanif ini. Wallohu a’lam bis shawab

📗 Di Salin dari Buku Dzikir Pagi dan Petang
__
📝 Ust. Yazid bin Abdul Qodir Jawas

5 Amalan Penghapus Dosa menurut Quran dan Hadits

Bismillah

5 Amalan Penghapus Dosa menurut Quran dan Hadits

MANUSIA tidak lepas dari khilaf sehingga sering berbuat dosa (melanggar aturan Allah Swt). Pepatah Arab mengatakan, Al-Insanu Mahalul Khoto wan Nisyan, manusia itu tempatnya salah dan lupa.

Tidak ada manusia yang sempurna kecuali Nabi Muhammad Saw yang memiliki budi pekerti yang agung (khuluqin adzim), teladan yang baik (uswatun hasanah), dan dijaga oleh Allah dari perbuatan dosa (ma'shum).

Pengertian Dosa dalam Islam
Dosa adalah konsep Islam adalah perbuatan maksiat atau melanggar larangan Allah SWT. Rasulullah Saw menyatakan, dosa itu kebalikan dari perbuatan baik. Dosa, sabda Nabi Saw, akan membuat gelisah hati seorang mukmin dan merasa malu jika perbuatan buruknya itu diketahui orang lain.

الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ . [رَوَاهُ مُسْلِم]

“Kebajikan itu adalah budi pekerti yang baik, dan dosa itu adalah segala sesuatu yang menggelisahkan perasaanmu dan yang engkau tidak suka bila dilihat orang lain.” (HR. Muslim).

Karena kasih-sayang-Nya, Allah SWT Maha Pengampun. Allah SWT selalu berkehendak menghapus atau mengampuni semua dosa hamba-hamba-Nya.

"Katakanlah! Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampunkan semua dosa” (QS. Az-Zumar:53).

Dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan, Allah Ta’ala berfirman:

قَالَ اللَّهُ يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِى وَرَجَوْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

”Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menyeru dan mengharap pada-Ku, maka pasti Aku ampuni dosa-dosamu tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya dosamu membumbung tinggi hingga ke langit, tentu akan Aku ampuni, tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun pada-Ku, tentu Aku akan mendatangi-Mu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi).

5 Amalan Penghapus Dosa
Berikut ini 5 amalan penghapus dosa.

1. TOBAT

Tobat adalah menyatakan penyesalan, memohon ampunan kepada Allah, dan berjanji tidak mengulangi perbuatan yang melanggar aturan-Nya.

"Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 37).

“Dan Dialah (Allah) yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Asy-Syura: 25)

“Bahwa Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk menerima taubat orang-orang yang berbuat jelek di siang hari dan membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang-orang yang berbuat jelek di malam hari sehingga matahari terbit dari arah barat.” (HR. Muslim).

“Orang yang bertaubat dari dosanya bagaikan orang yang tidak mempunyai dosa sama sekali” (HR. Ibn Majah, Sahih al-Jami’).

Cara tobat yaitu dengan memanjatkan doa memohon ampunan dan/atau shalat taubat. Doa paling ringkas adalah istighfar. Doa panjang antara lain sebagaimana tercantum dalam hadits Shahih Bukhari dan Muslim berikut ini:

اللَّهُمَّ إِنِّى ظَلَمْتُ نَفْسِى ظُلْمًا كَثِيرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ ، فَاغْفِرْ لِى مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ ، وَارْحَمْنِى إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ »

"Alloohumma innii zholamtu nafsii zhulman katsiiron wa laa yaghfirudz dzunuuba illa anta faghfirlii maghfirotan min 'indika warhamnii innaka antal ghofuurur rohiim"

"Ya Allah, sungguh aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, sedangkan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka itu ampunilah aku dengan suatu pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang  (HR. Bukhari dan Muslim).

Shalat Tobat adalah shalat dua rakaat lalu meminta ampun kepada Allah SWT dengan doa istighfar dalam bahasa apa saja, termasuk doa minta ampun dalam hadits di atas.

“Tidaklah seorang hamba melakukan dosa kemudian ia bersuci dengan baik, kemudian berdiri untuk melakukan shalat dua raka’at kemudian meminta ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.” Kemudian beliau membaca ayat ini: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, dan  Ibnu Majah).

2. ISTIGHFAR

Istighfar adalah memohon ampun kepada Allah Swt dengan kalimat "Astaghfirullahal'adzim" atau kalimat lain yang semakna.

"Beristighfarlah kamu kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun..." (QS. Nuh:10).

"Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat." (QS.Hud : 3).

"Barangsiapa beristighfar secara rutin, pasti Allah memberinya jalan keluar dalam kesempitan dan memberi rezeki yang tiada terhingga padanya." (HR. Abu Daud).

3. SEDEKAH

Sedekah yaitu menyisihkan sebagian harta untuk membantu orang yang membutuhkan (kaum dhuafa) dan mendanai dakwah atau syiar Islam.

Sedekah bisa diartikan juga dengan mengeluarkan harta yang tidak wajib di jalan Allah (selain zakat). Sedekah juga meliputi bantuan nonmateri atau ibadah-ibadah fisik nonmateri, seperti menolong orang lain dengan  tenaga dan pikiran, mengajarkan ilmu, bertasbih, dan berdzikir.

"Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api" (HR. Tirmidzi).

“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan (ganjarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (QS. Al Hadid: 18).

4. SABAR MENGHADAPI MUSIBAH/UJIAN

Musibah, seperti sakit, termasuk penghapus dosa, selama kita bersabar dan tawakal kepada Allah Swt atas ujian tersebut.

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla berfirman, “Sesunguhnya apabila Aku menguji seorang hamba-Ku yang mukmin, lalu ia memuji-Ku atas ujian yang Aku timpakan kepada-Nya, maka ia bangkit dari tempat tidurnya (dalam keadaan) bersih dari dosa seperti hari ibunya melahirkannya.“ (HR. Ahmad).

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

“Tidaklah seseorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya”. (HR Bukhari).

“Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan dosa-dosanya”. (HR. Muslim).

“Bencana senantiasa menimpa orang mukmin dan mukminah pada dirinya, anaknya dan hartanya, sehingga ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada kesalahan pada dirinya” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Al-Hakim, Ibnu Hibban).

“Sesungguhnya Allah benar-benar akan menguji hamba-Nya dengan penyakit, sehingga ia menghapuskan setiap dosa darinya”. (HR. Al-Hakim).

“Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu, melainkan ditetapkan baginya dengan sebab itu satu derajat dan dihapuskan pula satu kesalahan darinya”. (HR. Muslim).

“Janganlah kamu mencaci-maki penyakit demam, karena sesungguhnya (dengan penyakit itu) Allah akan menghapuskan dosa-dosa anak Adam sebagaimana tungku api menghilangkan kotoran-kotoran besi”. (HR. Muslim).

5. MELAKUKAN AMAL KEBAIKAN

Amal kebaikan (amal saleh), seperti mengerjakan ibadah wajib (shalat, zakat, puasa, haji) dan ibadah sunah seperti shalat malam, juga menolong sesama, senyum (menyenangkan orang lain), membaca Al-Quran, berkata-kata yang baik, menyempurnakan wudhu, dapat menghapuskan dosa.

"Sesungguhnya kebaikan itu menghapuskan keburukan, yang demikian itu adalah peringatan bagi orang orang yang ingat." (QS. Hud:114).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan: "Sesungguhnya melakukan kebaikan itu menghapuskan dosa dosa silam".

Rasulullah Saw bersabda: "Dan ikutilah keburukan itu dengan kebaikan kerana (pahala) kebaikan itu dapat menghapuskan (dosa) keburukan". (HR. Ahmad, Tirmidzi, Hakim, dan Tabrani).

“Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, ikutilah kejelekan dengan kebaikan yang menghapusnya dan bergaullah dengan sesama manusia dengan akhlak (perangai/perilaku) yang baik.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad).

“Shalat lima waktu dan Jum’at ke Jum’at dan Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa di antara keduanya selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim).

“Hendaklah kalian shalat malam, kerana ia adalah adat orang yang salih sebelum kalian dan amalan yang mendekatkan diri kepada Rabb kalian serta penghapus kesalahan dan mencegah dosa-dosa.” (HR. Al-Hakim).

“Sesungguhnya termasuk sebab mendapatkan ampunan adalah memberikan salam dan berkata baik.” (HR. Al-Kharaithi)

“Mahukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang dapat menghapus dosa dan mengangkat darajat. Mereka menjawab: ya, wahai Rasulullah. Beliau berkata: sempurnakan wudhu’ ketika masa sulit dan memperbanyak langkah ke masjid serta menunggu solat satu ke solat yang lain, kerana hal itu adalah ribath.” (HR. Muslim dan At-Tirmidzi).

Demikian amalan penghapus dosa. Semoga kita senantiasa mampu mengindari perbuatan dosa. Astaghfiruloohal 'adzhiiim... ! Amin...!  Wallahu a'lam bish-shawab.

Referensi: Al-Quran dan Terjemahannya Depag RI, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Fiqh Sunnah, Tafsir Ibn Katsir, dll.


Dosa Sebanyak Buih Di Lautan Bisa Dihapus Dalam Hitungan 1-3 Menit

Bismillah

Dosa Sebanyak Buih Di Lautan Bisa Dihapus Dalam Hitungan 1-3 Menit

Bagi mereka yang masih ingin merasa adanya keimanan dan masih ingin merasakan lezatnya iman walau sedikit. Maka hati mereka sedikitnya akan peka jika melakukan maksiat atau melakukan suatu kesalahan dalam ajaran agama. Hatinya juga akan terasa sedih jika terluput dari kebaikankan walau sedikit.

Maka hati akan sedih jika terluput takbir pertama shalat berjamaah di masjid, hati akan sedih tatkala mata ini sangat sulit dijaga dari pandangan yang diharamkan. Belum lagi dengan hal yang lebih besar misalnya ketiduran shalat subuh atau terjerumus dalam dosa yang lebih besar seperti berzina, korupsi dan lain-lainnya

Seorang muslim yang hatinya masih hidup dan ada keimanan maka ia akan sadar dengan kesalahannya walau sedikit, hatinya akan tidak tenang dengan maksiat atau kesalahan yang ia lakukan walau sedikit, jiwanya terguncang dengan pandangan haram walau sedikit. Ia tidak seperti orang yang sudah keras bahkan mati hatinya, tidak peka terhadap maksiat dan tetap biasa saja jika melakukan kesalahan.

Salah satu ciri muslim yang berjiwa hanif mencari kebenaran adalah merasa tidak tenang dengan dosa walaupun sangat sedikit. sebagaimana perkataan Sahabat,

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ

“Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosanya seakan-akan ia duduk di bawah gunung dan khawatir gunung tersebut akan menimpanya. Sedangkan seorang yang fajir (yang gemar maksiat), ia akan melihat dosanya seperti seekor lalat yang lewat begitu saja di hadapan batang hidungnya.”[1]

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata,

إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالاً هِىَ أَدَقُّ فِى أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ ، إِنْ كُنَّا نَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – الْمُوبِقَاتِ

“Sesungguhnya kalian mengerjakan amalan (dosa) di hadapan mata kalian tipis seperti rambut, namun kami (para sahabat) yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap dosa semacam itu seperti dosa besar yang membinasakan.”[2]

Maka seorang mukmin akan berusaha menghapus dosanya walaupun sedikit dengan segera

Penghapus dosa dalam hitungan menit

Yaitu dengan membaca lafadz ini 100x yang hanya membutuh waktu sebentar dan bisa di baca kapan saja dan di mana saja (kecuali tempat yang dilarang misalnya kamar mandi).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

“Barang siapa membaca:

Subhanallahi Wabihamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya)

seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”[3]

Mengenai makna buih di lautan. Syaikh Al-Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan,

أي ولو كانت ذنوبه في الكثرة مثل زبد البحر الزبد محركة ما يعلو الماء وغيره من الرغوة

“Walaupun sangat banyak dosanya dalam jumlah, semisal buih-buih bergerak yang berada di permukaan air, bisa juga yang lainnya misalnya jamur (plankton).”

Tidak mesti juga membaca harus 100 x dalam satu hitungan, akan tetapi menurut pendapat terkuat bahwa 100 kali adalah akumulasi bacaan dalam sehari. Bisa jadi pagi 30, siang 30 dan malam 40.

Ath-Thayyibi rahimahullah berkata,

سواء كانت متفرقة أو مجتمعة، في مجلس أو مجالس، في أول النهار أو آخره، إلا أن الأولى جمعها في أول النهار.

“Sama saja apakah bacaan tersebut (subhanallah 100 kali) terpisah atau dalam satu kali bacaan, dalam satu majelis atau dalam beberapa majelis. Di awal siang atau di akhir siang. Akan tetapi yang lebih baik adalah mengumpulkannya di awal siang.”[4]

Akan tetapi perlu diperhatikan, jangan dengan ada hadits ini, kita jadi mremahkan dosa, berpikir nanti gampang akan dihapus sebentar dengan bacaan ini.

Al-Munawi rahimahullah berkata,

“فلا يظن ظان أن من أدمن الذكر وأصر على ما شاء من شهواته وانتهك دين الله وحرماته أن يلتحق بالمطهرين المقدسين ويبلغ منازل الكاملين بكلام أجراه على لسانه ليس معه تقوى ولا عمل صالح “

“orang yang mengandalkan terus dzikir ini akan tetapi ia terus bermaksiat sekehendak syahwatnya, melanggar agama Allah dan kehormatannya, Janganlah ia menyangka akan disamakan dengan orang yang dibersihkan dan disucikan, jangan menyangka ucapannya akan mendapat pahala dengan lisannya, padahal tidak ada ketakwaan (rasa takut) dan amal shalih pada dirinya.”[5]

Catatan:

1.dosa yang dihapus adalah dosa atau kesalahan pada hak Allah saja, jika berkaitan dengan hak anak adam , maka harus diselsaikan dengan yang bersangkutan, meminta maaf atau mengembalikan haknya berupa barang atau hutang.

2.dosa yang dihapus adalah dosa-dosa kecil, adapun dosa besar yang ia lakuka  terus menerus maka ia harus bertaubat secara khusus dengan taubat nasuha dan syarat-syarat taubat nasuha.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (At Tahrim: 8)

3.jika merasa melakukan dosa yang besar, maka ia bisa melakukan shalat taubat dua rakaat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلاَّ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ. ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ

“Tidaklah seorang hamba melakukan dosa kemudian ia bersuci dengan baik, kemudian berdiri untuk melakukan shalat dua raka’at kemudian meminta ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.” Kemudian beliau membaca ayat ini, “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”[6]

4. ada dzikir setelah shalat yang juga menghapus dosa sebanyak buih di lautan, akan tetapi caranya setelah selesai shalat saja.

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

“Barangsiapa mengucapkan tasbih (mengucapkan ‘subhanallah’) di setiap akhir shalat sebanyak 33 kali, mengucapkan hamdalah (mengucapan ‘alhamdulillah’) sebanyak 33 kali, bertakbir (mengucapkan ‘Allahu Akbar’) sebanyak 33 kali lalu sebagai penyempurna (bilangan) seratus ia mengucapkan,

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ اْلحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ

[Tiada Tuhan yang berhak disembah dengan haq selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala puji dan bagi-Nya kerajaan. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu], maka Aku akan mengampuni dosa-dosanya sekalipun sebanyak buih di lautan.”[7]

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam

[1] HR. Bukhari no. 6308.

[2] HR. Bukhari no. 6492.

[3] HR. Muslim No.4857

[4] Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/printfatwa.php?Id=47328&lang=A

[5] Faidhul Qadir 6/190

[6] HR. Tirmidzi no. 406, dishahihkan oleh Al-Albani

[7] HR. Muslim