Sabtu, 10 September 2016

Tingkat kedekatan seorang hamba dengan Allah



Tingkat kedekatan seorang hamba dengan Allah itu bermacam – macam sesuai dengan firman Allah dalam Al qur’an

Tingkat “dekat “ dengan Allah
QS. Al Baqarah (2) : 186
Dan apabila hamba-hamba Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Tingkat kedekatan selanjutnya adalah dikatakan “ lebih dekat “ lagi
Dapat dilihat dalam
QS. Qaaf (50) : 16
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya


Dilanjutkan lagi tingkat kedekatan selanjutnya yaitu Allah meliputi segala sesuatu, bukan Cuma manusia, tapi segala sesuatu
QS. An Nisaa' (4) : 126
Kepunyaan Allah lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.

QS. Al Baqarah (2) : 19
Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir

Dan sejumlah ayat-ayat lagi yang menceritakan bahwa Allah meliputi segala makhlukNya. Setidak-tidaknya ada 2 kata yang digunakan. Kadang menggunakan kata mukhith, kadang wasi' ( Syain muhiitho, atau waasi’un )
Tapi intinya, Allah sedang memberikan gambaran betapa Allah itu sedang meliputi makhlukNya, dan sangat dekat dengan mereka.

Kata meliputi ini juga memberi makna 'luas' atau 'besar'. Artinya, ketika dikatakan bahwa Allah meliputi segala sesuatu, maka Dia itu sebenarnya adalah Dzat Yang Amat Sangat Besar Sekali. Sehingga bisa meliputi segala sesuatu, termasuk alam semesta keseluruhannya.

Namun, disamping itu, kata-kata kulli syai in (tiap-tiap sesuatu) di ayat tersebut menggambarkan betapa Allah begitu dekat, karena meliputi tiap-tiap makhlukNya, termasuk setiap
diri manusia. Bahkan setiap bagian terkecil tubuh manusia. Jadi, makna kata 'meliputi' memberikan persepsi sebagai kedekatan makhluk dengan Tuhannya atau sebaliknya. Tapi kedekatan yang bersifat universal.
Materi, energi, ruang, waktu, dan informasi, semuanya terangkum dalam kata "Meliputi" Bahkan termasuk orang-orang yang kafir pun diliputi oleh Allah. DzatNya dekat dengan apa saja dan siapa saja!

Tingkatannya lagi adalah tingkatan “berserta” atau “bersama”
Kata – kata yang digunakan adalah Ma’ash shabiriin ( beserta orang – orang yang sabar ), Ma’akum, ma'akum, ma'ana, ma'hum (bersamamu, bersama-Ku, bersama mereka).
Kata 'bersama' menunjukkan kedekatan secara khusus. Lebih khusus dibandingkan dengan 'meliputi'. Karena itu, penggunaan kata 'bersama' ini langsung dikaitkan dengan objeknya: bersamaMu, bersama-Nya, bersamaKu.

Ada semacam perhatian khusus, ketika Allah mengatakan: Aku bersama dengan orang-orang yang sabar. Seakan-akan Dia ingin menegaskan bahwa Allah akan memberikan pembelaan dan melindungi orang-orang yang sabar.

QS. Al Baqarah (2) : 153
Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.

QS. Al Hadiid (57) : 4
Dialah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa, yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada, Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

QS. Al Anfal (8) : 46
Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar


Tingkat kedekatan selanjutnya adalah orang – orang yang dapat memandang wajah Allah dimanapun dan kemanpun mereka menghadap.

Qs. Albaqarah : 115
Kepunyaan Allah lah belahan bumi timur dan barat, maka dimanapun engkau menghadap, maka distulah engkau menghadap wajah Allah, sesungguhnya Allah Dzat yang Maha luas dan maha mengetahui

Ayat diatas lebih bersifat khusus bagi orang yang dikehendaki dapat memahami dzat Allah, sehingga dapat musyahadah / dzikir ruh ( memandang dengan keyakinan hati / bathin ) pada Dzat Allah, karena kata – katanya menyebut Wajhullah ( wajah Allah ), sepertinya sangat dekat sekali, tapi oleh Allah dikhususkan bagi orang ‘ulul albab ( yaitu orang – orang yang mengerti hikmah atau essensi suatu hal yang dilihatnya ) kare

QS Al imran :190
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi terdapat tanda – tanda kekuasaan Kami, bagi orang – orang ‘ulul albab, yaitu orang – orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring, dan mereka berfikir tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata : “ Ya Tuhan Kami, sesungguhnya tiadalah sia – sia semua yang engkau ciptakan, maha suci Engkau, selamatkan kami dari siksa neraka.

Tingkatan dekat selanjutnya adalah “disisiNya” dan “berserah diri”
QS. Al Kahfi (18) : 65
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami

QS. Al Kahfi (18) : 82
Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri
Yang dikisahkan oleh Nabi Khidir seperti telah dijelaskan dlm Al Qur’an, disini terlihat bahwa Nabi khidir sudah dapat menyatukan kehendaknya dengan kehendakAllah, kemauannya / nafsunya sudah lenyap dalam kemauan Allah.


Baginda Nabi SAW pernah juga bersabda :
Ana ahmad bilaa mim
Aku ahmad tanpa mim ( ahad )
Demikian karena baginda nabi SAW sudah lenyap kehendaknya dalam kehendak Allah
Sehingga nabi adalah Al qur’an berjalan, berakhlaq dengan akhlaq Allah sehingga menjadi rahmatan lil ‘alamin

Nabi bersabda demikian, dengan melihat situasi, yaitu beliau tidak sedang berhadapan dengan khalayak ramai atau forum, tetapi didepan para sahabat – sahabat khusus.
Kalau kita cermati hadits nabi yang turun pada sahabat – sahabat khusus, adalah hadits – hadits yang penuh ajaran hikmah dan hakikat.

Untuk mencapai pemahaman tentang Allah seperti saat ini, tentulah kita telah melalui tahapan atau proses, berawal dari ketidaktahuan kita, lalu mendapat hidayah dan bimbingan dari Allah sehingga akhirnya paham seperti saat ini, semestinya kita juga menyadari bahwa semua saudara kita juga mengalami demikian, sehingga jika saudara kita belum sampai pada apa yang telah kita pahami, sebaiknya kita juga ingat bahwa kitapun dulu juga seperti itu, maka hal yang terpenting adalah bagaimana memberikan penjelasan dengan uraian yang tidak terkesan menggurui berdasarkan tingkat pemahaman mereka ( saudara kita sesama salikin ) untuk dibimbing kepada pemahaman selanjutnya ( masalah paham atau tidaknya, adalah hak Allah ), bukan menonjolkan pada terminal mana kita telah paham atau telah sampai, karena ada beberapa hal yang tidak mungkin dijelaskan, maka sebaiknya kita berhati – hati, dan salah satu tanda kepahaman adalah hati – hati dalam menyempaikan sesuatu hal ( ilmu hakikat dan ma’rifah ).

Seperti hadits Nabi SAW :
Berbicaralah sesuai pemahaman orang yang engkau hadapi ( ‘ala qadri ukuulihim ).
Bukan berdasarkan pemahaman kita sendiri.


0 komentar:

Posting Komentar