Pendahuluan
Hadirnya homescooling
beberapa tahun belakangan ini turut meramaikan dunia pendidikan
Indonesia. Sebagai salah satu alternatif pendidikan yang relatif baru,
tentu saja masih banyak kalangan yang meragukan homeschooling. Pernyataan seputar homeschooling pun muncul seperti tentang siapa gurunya, di mana tempat belajarnya, apa yang dipelajari, bagaimana proses belajar homeschooler (pelaku homeschooling),
bagaimana evaluasinya dan lain sebagainya. Perntanyaan-pertanyaan
tersebut sebenarnya adalah pertanyaan mengenai bagaimana kurikulum homeschooling
itu sendiri. Berbeda dengan jalur Pendidikan Non formal seperti Paket
A, Paket B, dan Paket C, sampai saat ini belum ada kurikulum baku yang
ditetapkan oleh pemerintah untuk homeschooling. Dalam pelaksanaannya, setiap homeschooling memiliki kurikulum yang berbeda-beda.
Kurikulum homeschooling memang bersifat customized. Artinya, homeschooling memiliki pilihan untuk menentukan kurikulum yang diacu sesuai dengan kebutuhan dan minat homeschooler,
ingin memperoleh ijazah resmi dari pemerintah dengan mengikuti ujian
kesetaraan. Kurikulum yang digunakan harus diintegrasikan dengan
kurikulum Departemen Pendidikan Nasional dan bahan-bahan pelajaran yang
diujikan dalam ujian kesetaraan ke dalam program homeschooling yang dilaksanakan.
A. Homeschooling
Secara harfiah, homeschooling
adalah sekolah yang diadakan di rumah, namun secara hakiki ia adalah
sebuah sekolah alternarif yang menempatkan anak sebagai subjek dengan
pendekatan pendidikan secara at home. Dengan
pendekatan ini, anak merasa nyaman. Mereka bisa belajar sesuai dengan
keinginan dan gaya belajar masing-masing, kapan saja dan di mana saja,
sebagaimana ia tengah berada di rumahnya sendiri. (Versiansyah, 2007:
18)
Secara prinsipil, homeschooling
atau sekolah rumah menurut Kembara (2007: 16) adalah konsep pendidikan
pilihan yang diselenggarakan oleh orang tua. Proses belajar mengajar
diupayakan berlangsung dalam suasana kondusif dengan tujuan agar
potensi setiap anak yang unik dapat berkembang secara maksimal.
Menurut Yulaelawati (2006), homeschooling
atau dalam bahasa Indonesianya sekolah rumah adalah proses layanan
pendidikan secara sadar, teratur, dan terarah yang dilakukan oleh orang
tua atau keluarga. Dalam konteks itu, proses belajar mengajar
berlangsung dalam suasana yang kondusif. Tujuannya adalah agar setiap
potensi yang dimiliki peserta didik berkembang secara maksimal.
Dalam Sistem Pendidikan Nasional, penyelenggaraan homeschooling
didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 1, ayat 1, dalam
undang-undang tersebut berisi “Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya.”
Hal ini berarti bahwa tidak ada pembatasan bahwa proses pendidikan
hanya boleh dilaksanakan melalui pendidikan formal di dalam kelas,
berkelompok, dan harus dengan satu atau dua guru yang berdiri di depan
kelas.
Pendidikan
dapat juga diperoleh dengan cara informal dan hasilnya dapat diakui
setelah peserta didik mengikuti ujian kesetaraan melalui Paket A, Paket
B, dan Paket C. Hal ini ditegaskan dalam Undang Undang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 27 ayat 1 bahwa “Kegiatan pendidikan informal
yang dilakukan oleh keluarga dan lingkunan berbentuk kegiatan belajar
secara mandiri”. Pada ayat (2), dinyatakan bahwa “Hasil pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan
formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan
standar pendidikan nasional.
Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Pendidikan Luar Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional telah mengatur pelaksanaan homeschooling
dengan mengeluarkan buku panduan yang berjudul “Komunitas Rumah
sebagai Satuan Pendidikan Kesetaraan”. (Sumardiono, 2007: 61).
Komunitas homeschooling sendiri merupakan satuan pendidikan jalur pendidikan nonformal. Acuan mengenai eksistensi komunitas homeschooling
terdapat dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 26 ayat 4. Ayat tersebut berisi “Satuan
pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis
taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis”. Dalam homeschooling
itu sendiri, orang tua bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan
homeschooler. Karena itu, orang tua juga berperan sebagai pengemban
kurikulum.
Homeschooling adalah
salah satu model sekolah alternatif, juga sekolah alam yang
memungkinkan anak belajar dengan cara masing-masing yang membebaskan
mereka untuk berkreasi, mengekspresikan perasaan, dan sebagainya.
Intinya tidak membebani anak dan tidak menjadikan sekolah itu seperti
penjara. Seharusnya, sekolah itu membebaskan ide-ide kreatif mereka.
Seto Mulyadi (2007: 5) mengemukakan bahwa “Pendidikan itu untuk anak,
belajar itu hak dan bukan kewajiban”. Sekarang anak-anak lebih banyak
diperlakukan seperti robot; harus patuh, anak untuk kurikulum, sarat
kekerasan, dan kadang sekadar mengejar nilai bukan proses. Ini sangat
merugikan bagi pengembangan kreativitas dan kemandirian anak. Kalau ada
delapan standar pendidikan nasional yang disusun oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP), maka yang harus diikuti hanya tiga; yaitu
standar isi kurikulum, standar kompetensi lulusan dan standar evaluasi.
Sebaliknya, standar proses, standar guru, standar biaya, standar
sarana prasarana, bebas. Adapun cara mengevaluasinya yaitu dengan
menggunakan pertanyaan-pertanyaan standar kompetensi yang diharuskan.
Seto Mulyadi menambahkan bahwa penelitian di AS menunjukkan, mereka
yang di home schooling, secara akademik maupun psiko-sosial banyak yang lebih tinggi daripada anak-anak yang di sekolah biasa.
Di homeschooling sendiri,
guru hanya berperan sebagai fasilitator proses belajar. Guru juga
bisa belajar bersama-sama dengan peserta didik. Tempat belajrnya bisa
di mana saja, di tenda, rumah, atau pasar. Sesekali mereka bisa diajak
keluar, misalnya ke kantor polisi, pemadam kebakaran atau apa saja.
Intinya homeschooling tetap mengedepankan kepentingan terbaik
bagi anak. Bukan anak untuk kurikulum, tetapi kurikulum untuk anak.
Jadi, kurikulum didesain untuk anak dalam kondisi yang berbeda.
B. Pengembangan Kurikulum
Secara etimologi, kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang berarti berlari dan curere
yang berarti tempat berpacu. Dengan demikian, istilah kurikulum
berasal dari dunia olahraga pada zaman Romawi kuno di Yunani, yang
mengandung pengertian jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis
start sampai garis finish. Selanjutnya, kurikulum ini digunakan dalam
dunia pendidikan dan mengalami perubahan arti sesuai dengan
perkembangan dan dinamika yang ada pada dunia pendidikan. (Abdullah,
2007: 184)
Secara
garis besar kurikulum dapat diartikan sebagai suatu program yang
direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Akan tetapi, ada juga yang berpendapat bahwa kurikulum tidak
hanya mencakup hal-hal yang direncanakan, tetapi juga mencakup hal-hal
yang tidak direncanakan, yaitu apa yang disebut dengan The Hidden Curriculum atau kurikulum tersembunyi. (Nasution, 1993: 11)
Pengembangan
kurikulum pada hakikatnya merupakan pengembangan komponen-komponen
kurikulum yang membentuk sistem kurikulum itu sendiri, yaitu komponen
tujuan, bahan, metode, peserta didik, pendidik, media, sumber belajar,
dan lain sebagainya
Peserta
didik terkadang tidak mendapat pelajaran yang tidak direncanakan
sebelumnya, seperti metode belajar yang ia kembangkan sendiri agar
dapat memahami pengetahuan yang ia peroleh, atau memperoleh pelajaran
baru selain dari yang telah “direncanakan” dalam kurikulum sebelumnya.
Dalam homeschooling, kemungkinan the hidden curriculum lebih sering terjadi dibandingkan dalam sekolah formal. Ini dikarenakan hommschooler lebih bebas berekspresi dibandingkan dengan peserta didik pada sekolah formal.
Ada beberapa prinsip umum dalam pengembangan kurikulum yang ditawarkan oleh Nana Syaodih (2005: 150-151), Pertama; Prinsip Relevansi.
Ada dua macam relevansi yaitu relevansi ke luar dan ke dalam kurikulum
sendiri. Relevansi ke luar maksudnya tujuan, isi, dan proses belajar
yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan,
kebutuhan, dan pengembanan masyarakat. Kurikulum menyiapkan peserta
didik untuk bisa hidup dan bekerja dalam masyarakat. Kurikulum
hendaknya mempersiapkan peserta didik untuk tugas tersebut. Sebaliknya,
relevansi di dalam kurikulum itu sendiri, yaitu ada kesesuaian atau
konsistensi antara komponen-komponen kurikulum, yaitu antara tujuan,
isi, proses belajar, dan penilaian. Kedua, Prinsip Fleksibilitas.
Kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur atau fleksibel. Kurikulum
mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang.
Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang berisi hal-hal yang solid,
tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan terjadinya
penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, waktu, maupun
kemampuan, dan latar belakang anak. Ketiga; Prinsip Kontinuitas,
yaitu kesinambungan. Perkembangan dan proses belajar anak berlangsung
secara berkesinambungan, tidak terputus-putus. Oleh karena itu,
pengalaman belajar yang disediakan kurikulum hendaknya
berkesinambungan, yaitu dari kelas satu sampai kelas tiga. Keempat, Prinsip Praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana dan biayanya juga rumah. Prinsip ini disebut juga prinsip efisiensi. Kelima; Prinsip Efektivitas.
Keberhasilan kurikulum baik secara kuantitas maupun kualitas harus
diperhatikan. Karena keberhasilan kurikulum akan memengaruhi
keberhasilan pendidikan.
C. Jenis Kurikulum
1. Separated Subject Curriculum
Kurikulum ini dipahami sebagai kurikulum mata pelajaran yang terpisah satu dengan lainnya. Kurikulum mata pelajaran terpisah (separated subject curriculum)
berarti kurikulumnya dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah,
yang kurang mempunyai keterkaitan dengan mata pelajaran lainnya.
Konsekuensinya, peserta didik harus semakin banyak mengambil mata
pelajaran. (Abdullah, 2007: 142)
Kurikulum
ini terdiri dari mata pelajaran, yang tujuannya adalah peserta didik
harus menguasai bahan dan tiap-tiap mata pelajaran yang telah
ditentukan secara logis, sistematis, dan mendalam. kurikulum ini
menghendaki anak mengambil mata pelajaran yang lebih banyak. Misalnya,
ada mata pelajaran Matematika, Fisika, Biologi, Agama, PKn, Sejarah,
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan lain sebagainya.
2. Corelated Curriculum
Kurikulum
jenis ini mengandung arti bahwa sejumlah mata pelajaran dihubungkan
antara satu dengan yang lainnya, sehingga ruang lingkup bahan yang
tercakup semakin luas. Sebagai contoh, pada saat anak belajar Agama
yang berkaitan dengan kewajiban seorang muslim terhadap tetangga, dapat
dikaitkan dengan mata pelajaran PKn yang mengajarkan tentang ke
3. Broad Fields Curriculum
Hilda Taba menyatakan bahwa the broad fields curriculum
adalah usaha meningkatkan kurikulum dengan mengkombinasikan beberapa
mata pelajaran. Misalnya, Fisika, Kimia dan Biologi disatukan menjadi
Ilmu pengetahuan Alam.
4. Integrated Curriculum
Kurikulum
terpadu merupakan suatu produk dari usaha pengintegrasian bahan
pelajaran dari berbagai macam mata pelajaran. Integrasi diciptakan
dengan memusatkan pelajaran pada masalah tertentu yang memerlukan
solusinya dengan materi atau bahan dari berbagai disiplin atau mata
pelajaran (Abdullah, 2007: 146). Sebagai contoh kunjungan anak TK ke
Benteng Otanaha, Pantai Indah, Pelabuhan Soekarno yang ada di Kelurahan
Dembe Kecamatan Kota Barat, (sejarah), akan memberikan kontribusi pada
anak. Kontribusi tersebut antara lain dapat berupa pengenalan tempat
bersejarah peninggalan Portugis (penjajah). Selain itu, anak juga dapat
melihat dan memperoleh pengetahuan tentang telapak kaki Lahilote
(dongeng/mitos), dapat menambah wawasan pengetahuan tentang kunjungan
Bapak Proklamator yang pernah berkunjung ke Gorontalo menggunakan
pesawat Amphibi serta nilai-nilai sejarah yang ada di museum tersebut
(sejarah). Manfaat lainya adalah pengembangan bahasa anak, dalam hal
ini adalah bahassa Indonesia. Anak dapat menceritakan kembali pengalaman
mereka selama perjalanan berwisata.
Kurikulum
terpadu mempunyai ciri yang fleksibel dan tidak menghendaki hasil
belajar yang sama dari semua peserta didik. Guru, orang tua, dan
peserta didik merupakan komponen-komponen yang bertanggung jawab dalam
proses pengembangan kurikulum.
D. Konsep Kurikulum Homeschooling
Konsep kurikulum homeschooling
mengacu pada konsep kurikulum humanistik. Kurikulum humanistik
dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik. Aliran ini lebih
memberikan tempat utama kepada peserta didik. Mereka bertolak dari
asumsi bahwa anak adalah yang pertama dan utama dalam pendidikan.
Peserta didik (peserta didik/warga belajar) adalah subjek yang menjadi
pusat kegiatan pendidikan. Mereka percaya bahwa anak mempunyai potensi,
yaitu suatu kemampuan, bakat, kekuatan dan segala apa yang dimiliki
oleh peserta didik untuk berkembang dan dikembangkan.
Pandangan
ini berkembang sebagai reaksi terhadap pendidikan yang lebih
menekankan segi intelektual dengan peran utama dipegang oleh guru.
Pendidikan humanistik menekankan peranan peserta didik. Pendidikan
merupakan suatu upaya untuk menciptakan situasi yang permisif, rileks,
dan akrab. Berkat situasi tersebut anak mengembangkan segala potensi
yang dimilikinya. Tugas guru adalah menciptakan situasi yang permisif
dan mendorong peserta didik untuk mencari dan mengembangkan pemecahan
sendiri. (Syaodih, 2005: 87).
E. Pendekatan Pengembangan Kurikulum Homeschooling
Dalam
pengembangan kurikulum terdapat beberapa pendekatan. Secara teoretis,
dalam kerangka pendekatan sistemik dan pendekatan kontekstual,
terdapat lima model pengembangan pendekatan kurikulum yang berlaku
sejak tahun 1950-an sampai 2000-an. Model pendekatan kurikulum ini
meliputi:
a. Model Tyler
Menurut Tyler, pengembangan kurikulum mencakup tujuan, pengalaman belajar, pengelolaan belajar, dan penilaian tujuan belajar.
b. Model Taba
Menurut
Taba, pengembangan kurikulum mencakup diagnosis, kebutuhan, rumusan
tujuan, seleksi dan organisasi konten, manifestasi pengalaman belajar,
serta penilaian.
c. Model Teknik-Saintifik
Pengembanan
kurikulum ini mencakup penyusunan perencanaan, penyusunan struktur
lingkungan belajar, pengkoordinasian sumber daya manusia, bahan dan
peralatan, mempunyai derajat objektivitas, universalitas, percaya pada
efisien dan efektivitas dari sistem, serta dunia dilihat sebagai mesin
yang dapat digambar, dibut, dan diminati.
d. Model Nonteknik-Nonsaintifik
Pengembangan
kurikulum ini berorientasi pada hal-hal yang subjektif, pribadi,
keindahan, penalaran dan transaksi, berorientasi pada peserta didik
melalui cara-cara aktif dalam proses pembelajaran, kurikulum berkembang
dari yang direncanakan, dan dunia merupakan suatu benda hidup.
e. Model Pendidikan Berbasis Hasil Belajar
Pengembangan
kurikulum ini mencakup penentuan hasil belajar, penentuan pengetahuan,
kompetensi, kinerja, dan penentuan cara mendesain, menyampaikan dan
mendokumentasikan pembelajaran, (Yulaelawati, 2004: 29-30).
Jika dilihat dari beberapa model pengembangan kurikulum di atas, maka model pengembangan kurikulum homeschooling lebih cenderung mengarah kepada model nonteknik-nonsaintifik. Kurikulum homeschooling merupakan sesuatu yang dinamis.
Pendekatan
nonteknik-nonsaintifik dilatarbelakangi oleh pendekatan kontekstual.
Dalam pendekatan ini pengambilan keputusan dalam pengembangan kurikulum
sangat berorientasi pada peserta didik melalui cara-cara aktif dalam
pembelajaran, (Yulaelawati, 2004: 31). Di homeschooling,
seorang anak bisa saja mempelajari sesuatu selama berminggu-minggu
tanpa beralih ke yang lainnya, atau malah sebaliknya, untuk
mempelajari sesuatu homeschooler bisa saja menempuhnya dalam
waktu yang tidak begitu lama. Selain itu, anak dapat memilih apa yang
diinginkannya. Dengan demikian, model pengembangan kurikulum yang tepat
untuk homeschooling adalah model nonteknik-nonsaintifik.
Simpulan
Dari uraian di atas, diperoleh simpulan bahwa kurikulum homeschooling bersifat customzed,
sesuai dengan minat dan kebutuhan anak. Dengan demikian, konsep
kurikulumnya mengacu pada konsep humanistik. Model pengembangannya pun
bersifat nonteknik-nonsaintifik, sehingga tanggung jawab pengembangan
berada pada orang tua, pendamping belajar dan homeschooler itu sendiri.
Daftar Pustaka
Abdullah, Idi. 2007. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Chris Versiansyah. 2007. Homeschooling: Rumahku Kelasku, Dunia Sekolahku. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara
Ella Yulaelawati. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi Teori dan Aplikasi. Bandung: Pakar Raya
Nana Syaodih, Sukmadinata. 2005. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nasution. 1993. Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Mulyadi. Seto. 2007. Pendidikan Alternatif yang Membebaskan.
———- 2007. Homeschooling Keluarga Kak Seto. Bandung: Kaifa.
Soetopo & Soemanto. 1993. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum: Sebagai Substansi Problem Administrasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
(Sumber: Halim Malik; Edukasi Kompasiana)
0 komentar:
Posting Komentar